51. Beranjak Dari Masalalu.

Start from the beginning
                                    

Iris berbulu mata lentik itu tidak lepas sedikitpun dari Aktivitas Bundanya memotong berbagai jenis sayur. Sudah kebiasaan yang tidak bisa di tinggalkan ketika pagi dan sore, seperti sekarang Zhira duduk di kursi depan meja pantry sambil memperhatikan sang Bunda atau Bi inah memasak berbagai hidangan.

"Bunda,"

"Hemm?"

"Papa kapan pulang?" tanya Zhira tiba-tiba.

Aktivitas Maira sejenak terjeda, dia bingung mau mengatakan apa pada putri kecilnya ini.

"Kerjaan Papa di luar kota banyak ya, Bunda?" lanjutnya.

Maira hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan putrinya. Padahal jelas dia tahu bahwa Arman sedang ingin menghindarinya. Entah kenapa, membicarakan Arman membuat Maira jadi mual.

"Nyonya sebaiknya istirahat saja. Biar Bibi yang lanjutin masaknya."

"Iya, Nya. Biar kami saja," sambung Lastri.

"Ya udah aku ke kamar dulu ya, Bi," pamit Maira. "Bunda di kamar ya, Sayang." Maira menyentuh lembut pipi Zhira.

Zhira menatap kasihan pada Sang Bunda yang berjalan gontai menuju kamarnya. Gadis kecil itu langsung berinsiatif untuk menghubungi Papanya.

"Bi, Chira boleh tidak pinjam handphone-nya?"

"Boleh." Bi inah langsung menyerahkan ponselnya.

Persekian detik dia mengutak atik gawai tersebut guna mencari kontak Arman. Kemudian menghubunginya.

"Halo, Bi. Ada apa?"

"Assalamu'alaikum, Pa. Ini Chira bukan Bibi." ucapnya sambil terkekeh.

"Wa'alaikumussalam, tumben peri kecil Papa nelfon, ada apa, hem?"

"Kapan Papa pulang? Chira kasian liat Bunda lagi sakit gak ada Papa."

"Sakit?"

"Iya, Pa. Bunda muntah terus, lemes banget Pa. Kasian Bunda."

"Baiklah, Papa akan segera pulang. Selama Papa gak di rumah. Chira harus jagain Bunda ya," pinta Arman dari seberang telepon.

Zhira mengangguk paham lalu mengakhiri sambungan.

***

Fajar menyingsing ke barat, sinar jingga mulai memudar pertanda maghrib akan segera tiba. Sudah beberapa jam Arman berada di masjid menunggu Ustadz Khotib yang tak kunjung datang. Bertepatan dengan Adzan maghrib Ustadz yang Arman tunggu datang juga.

Usai salat maghrib barulah Arman menceritakan semuanya pada sang Ustadz.

"Apa yang membuat Nak Arman sampai harus berkata demikian?" tanya Ustadz Khotib setelah mendengar penuturan Arman perihal bayi yang di kandung istrinya.

"Saya takut kejadian serupa terjadi lagi Ustadz."

"Kalau begitu Nak Arman meragukan takdir Allah? Setiap yang datang dan pergi sudah digariskan, semua perempuan hamil lalu melahirkan, itu sudah kodratnya. Tapi tidak semua akan mengalami kematian, bukan? Almarhumah istri Nak Arman mungkin memang takdirnya seperti itu. Bukan berarti istri yang sekarang akan mengalami hal serupa. Jangankan istri Nak Arman, napas kita kapan berhenti saja kita tidak akan pernah tahu. Jadi, serahkan semuanya pada Sang Pemilik kehidupan. Jangan risaukan apapun kecuali dosa-dosa kita yang semakin menggunung. Itu saja. Maka Nak Arman akan senantiasa bersyukur." Ustadz Khotib tersenyum hangat.
"Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah At Taghabun;

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now