◎ 37. End of Circle ◎

50K 5.2K 1.5K
                                    

"Kak Devan ...."

Cewek itu berlari menuju Devan yang terjatuh di sudut ruangan, bibir kakak kelasnya itu tampak terluka dan sedikit memar. Matanya beralih ke arah lain, dan melihat Om Akbar sedikit meronta dibalik ikatan yang melilit pergelangan tangannya, lalu perlahan terdiam.

"Kenapa lo ada di sini?"

Bukannya terlihat senang dengan kehadiran Davia, cowok berkacamata itu malah menepis tangan Davia dan berdiri. Ia sedikit meringis menahan sakit ketika bicara.

"Jemput lo."

"Ngapain?" tanya Devan lagi. "Lo harusnya ikut lomba itu. Ngapain lo di sini?"

Cewek itu menggeleng kuat. "Gue nggak akan ikut lomba itu tanpa lo."

"Jangan konyol, Dav." Devan tertawa mengejek. "Lo harus pergi sekarang ke lomba itu. Menangin itu semua dan bungkam omongan orang yang ngejelekin lo."

"Nggak, tanpa lo gue nggak akan pergi, Kak."

Cowok itu menghampiri Davia dan memandang tajam ke arahnya. "Lo gila apa gimana?"

"Kita tim, dan gue nggak akan pergi ninggalin temen satu tim gue. Kita bakal ikut lomba itu berdua, atau nggak sama sekali," jawab Davia keras kepala.

Devan menggeleng tidak percaya. "Bokap gue drop setelah sadar kalo nyokap gue bukan lagi istrinya. Bokap ngamuk dan gue ... nggak bisa ninggalin beliau. Lo liat apa yang terjadi sekarang, kan?"

Pandangan Davia mengedar ke sekeliling rumah. Berantakan. Dan sangat ... menyakitkan. Bahkan Devan kelihatan kehilangan lepas kendali atas dirinya sekarang. Ia memberanikan diri dan menyentuh bahu kakak kelasnya itu.

"Kita bisa ngelewatinnya sama-sama. Gue bakal bantu lo beresin semua ini dan bawa bokap lo ke rumah sakit, baru kita ke tempat lomba," jawab Davia. "Bu Eka bilang lomba dimulai jam sembilan."

"Nggak akan kekejar," tolak Devan. "Gue nggak mau. Mending lo berangkat sekarang."

Davia menggeleng. Ia berdiri dan merapikan barang yang berserakan. "Telepon Tante Anna, bisa? Biar Tante Anna yang nemenin bokap lo di rumah sakit. Gue dianter bokap ke sini, kita bisa ngebut. Lagian, jalanan Bandung juga nggak macet-macet banget."

Devan mengacak rambutnya, lalu menghampiri Davia dan menatap cewek itu tepat di iris matanya. "Lo ... yakin?"

"Kita tim, dan nggak akan ada yang bisa misahin itu. Lo ngebantu gue ngelewatin banyak masa sulit, dan biarin kali ini gue ngelakuin hal yang sama buat lo. Lagipula, olimpiade ini mimpi lo, kan?"

Cowok itu menunduk, lalu berdiri dan mengambil ponselnya di dalam tas. "Ma, Papa kumat lagi, saya bakal bawa Papa ke rumah sakit. Mama bisa temenin Papa? Saya ada lomba hari ini, dan Davia butuh saya di sana."

Davia merasa lega mendengar suara cowok itu. Ia segera merapikan cepat beberapa barang yang berserakan. Kakak kelasnya membantu sehingga pekerjaan itu selesai dalam waktu singkat.

Setelah itu, keduanya memapah papa Devan ke mobil dan msngantarkannya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, beruntungnya jalanan tidak macet dan Papa Davia bisa mengebut. Om Akbar langsung diambil alih oleh Tante Anna yang sudah menunggu di sana. Mama dari kakak kelasnya itu meminta kedua teman satu tim ini untuk segera berangkat.

Sepanjang perjalanan ke tempat lomba, Davia mencoba mengobati luka di sudut bibir Devan dengan peralatan P3K seadanya di mobil Papa.

"Pelan-pelan," kata Devan memprotes cewek itu yang memakaikan plester ke sudut bibirnya dengan tidak hati-hati.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora