◎ 18. Pembicaraan Singkat ◎

37.5K 5.1K 1.6K
                                    

"Kenapa lagi lo? Kesambet?"

Emosi Davia naik mendengar perkataan Devan. Ia membuka mulutnya lebar hendak meluapkan kekesalannya pada cowok di hadapannya ini. Namun, Devan cepat tanggap. Ia memberi tanda agar Davia menutup mulutnya.

"Gue lagi pengin bahas hal lain, jangan debat gue dulu," kata Devan. "Hari ini kita nggak belajar, kan? Berarti harus ada hari kita bikin dua sesi. Minggu ini gimana?"

"Kak, yang bener aja. Hari Minggu masih harus ngerjain soal olimpiade dua sesi?"

Devan mengangguk. "Kenapa emang?"

"Lo nggak takut kepala lo berasap?" tanya Davia tidak mengerti dengan Devan. Ia tahu cowok ini berambisi untuk menang, tapi hal ini terasa sangat tidak masuk akal.

Devan mengangkat bahu, ia melepas kacamata, memijit ujung hidungnya pelan, lalu memakai kembali kacamata itu. "Gue yang nentuin kapan kelas, jadi lo harus terima suka nggak suka."

"Terus ngapain tadi lo nanya sama gue?" kata Davia ketus. "Gue nggak ngerti deh, Kak. Kenapa sih lo selalu aja nyari ribut sama gue?"

Devan mengeluarkan ponselnya, menggeser layar, lalu menunjukkan benda itu pada Davia. "Gue nggak paham kenapa jawabannya bisa sesimpel ini. Lo ngerti nggak?"

Kening Davia berkerut, lalu tawanya pecah. Ia mengambil selembar kertas dan pulpen dari dalam tasnya lalu mencoret-coret di sana.

"Ini soal konyol, Kak, lo nggak bisa?" kata Davia. Ia membuat enam kolom dan menulis angka di setiap kolomnya.

16 — 06 — 68 — 88 — n — 98

"Nah, kita harus cari n itu berapa, kan?" kata Davia lagi. Ia memperlihatkan sekilas kertas pada Devan.

Cowok itu mengangguk. "Gue nggak ngerti itu lompatannya berapa rumusannya gimana, kenapa bisa nemu n-nya?"

"Lo nggak ngertinya gimana, Kak?"

"Dari enam belas, ke enam, terus ke enam puluh delapan. Nggak ada rumus yang bisa dipake buat itu semua," jawab Devan. Ia menyesap teh tawar yang baru saja disajikan.

Davia tertawa lagi. "Ya emang nggak ada. Ginian doang mana butuh rumus."

Kali ini giliran Devan memandang Davia bingung, ia mengernyitkan kening. "Mana bisa ngerjain soal kayak gitu nggak pake rumus?"

"Ini cuma masalah sudut pandang, Kak," jawab Davia. Ia memberikan kertas coretannya pada Devan. "Coba liat, ada yang beda, nggak?"

Devan memperhatikan kertas itu lekat-lekat, memutarnya 180 derajat, lalu kembali ke posisi semula. Menyerah, ia menyerahkan kertas itu lagi pada Davia. "Nggak ngerti gue."

"Gue bilang kan soal sudut pandang, Kak," jawab Davia. "Coba sekarang lo balik kertasnya."

Devan mengikuti perintah Davia, keningnya kembali berkerut. "Nyerah, kasih tahu gue rumusnya."

Davia tertawa. "Ini nggak pake rumus, Kak. Lo cuma perlu balik kertasnya, dan liat dari sisi lain. Angkanya berubah nggak?"

Mata Devan terbuka lebar, ada semu merah di pipi tanda ia malu karena tidak teliti. Angka yang dikiranya enam belas tadi berubah menjadi sembilan puluh satu. Angka nol dan enam menjadi sembilan puluh dan begitupun selanjutnya.

"Jadi ini cuma suruh ngurutin?"

Davia mengacungkan jempolnya. "Bener. Gampang, kan? Jawabannya delapan puluh tujuh. Karena kolom pertama itu delapan puluh enam dan kolom ketiga delapan puluh delapan."

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now