◎ 12. Rindu ◎

43.6K 5.7K 2.4K
                                    

"Apa? Perlu gue juga yang bersihin bibir lo yang belepotan bekas es krim?"

Dengan cepat Davia memukul lengan Devan dan mengambil sapu tangan itu. "Apaan deh, Kak."

Devan memasukkan suapan terakhir ke mulutnya, lalu menjawab, "Lagian lo ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu? Nggak bisa ngerjain sendiri yang gue suruh?"

"Bisa!" jawab Davia cepat. "Gue bukan anak kecil."

Devan tidak menjawab, ia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sementara itu Davia menggunakan kamera ponselnya untuk bercermin saat ia membersihkan bekas es krim yang berantakan.

Ia sangat malu sekarang, tapi percakapan tadi mengingatkannya pada seseorang. Ya, Jevan dan Davia pernah melakukan ini—kencan di taman dan makan es krim. Obrolan mereka pun nyaris sama, dan Jevan juga melakukan hal yang sama seperti Devan tadi.

"Duh, bego!" keluh Davia, ia menggelengkan kepala, berusaha agar ingatannya tidak melangkah ke kejadian waktu itu.

"Iya bego, ngapain juga lo ngomong sendiri gitu," jawab Devan tiba-tiba.

Davia menoleh ke arah cowok yang sekarang sedang melihat jam di tangan kirinya. Belum sempat Davia menjawab perkataan Devan, cowok itu sudah membuka mulutnya lagi.

"Gue laper, nih. Makan dulu aja gimana?"

"Makan apa? Di sini banyaknya camilan," jawab Davia bingung, dahinya berkerut tidak mengerti. "Cuma ada bakso, batagor, cilok."

"Cilok itu apaan?" tanya Devan bingung. Ia belum pernah melihat makanan yang menurutnya aneh itu. "Bentuknya kayak apa?"

Davia tertawa. "Ya udah makan cilok aja. Gue beliin dulu."

Devan mengangguk dan menunggu hingga Davia berjalan menjauh. Setelah yakin Davia pergi cukup jauh, ia mengeluarkan ponselnya lagi dan kembali mengetikkan beberapa kata di sana.

Ia mengusap dagunya, lalu mengetukkan jari di bangku taman. Sesekali cowok itu terlihat kesal, lalu kembali tenang. Setelah selesai, ia memasukkan kembali ponsel itu. Tepat sebelum Davia sampai di sebelahnya lagi.

"Nih, Kak, namanya cilok atau aci dicolok. Enak," kata Davia sambil memberikan Devan satu plastik makanan dengan bumbu kacang itu.

Devan memperhatikan makanan yang diberikan Davia dengan bingung. "Bentuknya bola gitu, ya?"

"Bola?" Davia tertawa keras. "Bulat kali maksud lo, Kak. Kaku banget bola."

"Bola," jawab Devan tidak peduli, ia menusukkan sebuah cilok dan memakannya. "Ini kan benda tiga dimensi, punya ruang, jadi bola bukan bulat."

Davia menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Mulai lagi deh lo bahas matematika. Bisa nggak sih, Kak, lo berenti belajar?"

Devan yang sudah sibuk menyantap cilok hanya menggeleng. Ia mengagumi rasa cilok yang dimakannya ini. Sensasinya ternyata menyenangkan, dan rasanya sangat enak.

"Kenapa?" tanya Davia lagi.

"Karena gue nggak berarti apa-apa kalau nggak belajar. Ibaratnya, cuma kepompong yang nggak ngelakuin apa-apa. Tidur doang sampe jadi kupu-kupu. Bedanya, kalo gue nggak ngelakuin apa-apa, gue nggak akan jadi kupu-kupu," jawab Devan.

"Tapi kepompong itu punya peran penting buat kupu-kupu. Dia menyiapkan si ulat sebelum menjadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas," jawab Davia. "Lo harus istirahatin diri lo, Kak. Main-main sedikit dan bersikap santai nggak masalah, kan?"

"Gue nggak bisa main-main. Waktu gue nggak ada," jawab Devan lagi. "Ini cilok berapa harganya?"

Davia tersenyum mendengar jawaban Devan, ia tidak ingin mendebat lagi. "Menurut lo berapa, Kak?"

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now