◎ 9. Berteman? ◎

45.3K 6K 2.1K
                                    

"Kenapa lo suka matematika?"

Devan menatap tajam Davia. "Gue udah pernah bilang kan kalo urusan kita itu cuma sebatas rekan tim? Kenapa lo masih nanya soal alasan gue suka matematika?"

Davia mengangkat bahu, mungkin ia mulai terbiasa dengan sikap Devan. "Biar akrab. Tujuan Bu Eka bikin kita belajar berdua kan supaya akrab. Kalo kita nggak akrab, tim kita juga nggak akan bisa kompak."

"Oke," Devan menghela napas. "Bukan gue suka matematika sebenernya, tapi kebetulan aja gue lebih ngerti matematika dibanding yang lain. Lo kan tau, fisika itu gabungan matematika dan biologi, kimia gabungan fisika, kimia, biologi. Jadi yang lebih simpel dan akar semuanya itu matematika."

Jawaban Devan membuat Davia mengangguk paham. "Ternyata lo nggak sependiam itu, ya, Kak?"

"Maksudnya?"

"Ya kan orang-orang ngerasanya lo jutek, irit ngomong, tapi lo ngomong sepanjang tadi dalam satu tarikan napas itu keren loh," jawab Davia, bibirnya tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

Devan membuang wajahnya ke samping, berdeham. "Jadi, dari mana lo dapet rumusan kayak gitu?"

Tawa Davia pecah, ia menaruh ponselnya di meja dan mengambil pensil. Ia menjelaskan secara rinci awal dari rumus itu ada. Sesekali Devan mendebat penjelasan Davia, lalu mereka saling beradu pendapat, sampai akhirnya kembali menemukan penyelesaian.

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Langit pun telah menggelap, Devan merapikan buku-bukunya sementara Davia masih sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Nak Devan, udah selesai belajarnya?"

Suara Mama yang masuk ke ruang tengah mengagetkan keduanya. Devan menunduk sambil tersenyum tipis, sementara Davia tetap sibuk dengan ponselnya sambil tertawa sesekali

"Iya, Tante. Saya pamit pulang, ya. Maaf udah ngerepotin," kata Devan, ia hendak menyalami mamanya Davia.

"Eh, makan malam dulu aja. Kamu bawa motor, kan? Nggak apa-apa dong pulang rada malem? Tante udah siapin makan malamnya, Om juga udah di meja," ajak mamanya Davia.

Devan menggeleng sopan. "Nggak usah, Tante. Nanti ngerepotin. Saya langsung pulang aja."

"Nggak ngerepotin, kok, Nak. Kamu kabarin orang tua kamu ya, kalau kamu pulang telat," kata Mama sambil tersenyum. Pandangannya beralih ke Davia. "Davia, ajak temen kamu makan. Mama tunggu di ruang makan, ya."

Setelahnya, Mama keluar dari ruangan meninggalkan Devan yang memandang Davia bingung. Ia merasa tidak enak untuk menerima ajakan makan malam itu, tapi juga akan terlihat tidak sopan jika menolaknya. Lagipula, sudah sejak lama ia tidak nyaman makan bersama keluarga orang lain.

"Ayo, Kak. Mama udah masakin," ajak Davia, kakinya berjalan menuju pintu meskipun matanya masih terpaku pada layar ponsel. "Nolak ajakan orang tua itu ngga baik—aw!"

Sebuah suara benturan terdengar. Cukup keras. Devan berjalan menghampiri Davia yang sekarang sedang mengusap keningnya.

"Makanya, mata itu dipake bukan cuma buat melototin layar handphone," omel Devan. Ia mendekati Davia dan menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Davia. "Rada memar, tuh. Obatin pake salep."

Napas Davia tertahan ketika menyadari jarak antara dia dan kakak kelasnya itu begitu dekat. Rasa sakit yang menimpanya beberapa waktu lalu hilang, berganti dengan rasa malu yang tidak jelas.

"Lo ada salepnya kan? Gue lupa namanya apa, Throm—apa gitu," tanya Devan lagi, ia mengusap pelan kening Davia. "Seru banget emang handphone lo sampe lo nggak sadar nyium pintu?"

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now