◎ 14. Keanehan Devan ◎

38.1K 5.5K 1.2K
                                    

"Pergi kamu! Gara-gara kamu, Anna meninggalkan saya! Pergi!"

Ponsel di tangan Davia nyaris terjatuh mendengar teriakan itu. Ia memilin jarinya, menghilangkan rasa panik. Masih ada  suara teriakan dan benturan di dalam sana. Ia mulai merutuki keputusannya karena mengajak Devan ke sini.

Tidak lama kemudian suasana kembali hening. Ragu, Davia bergerak menuju kursi terdekat dan duduk di sana. Ia membuka ponselnya, kemudian kembali sibuk di sana.

"Dav, maaf di rumah gue nggak ada apa-apa. Cuma bisa ngasih minum," kata Devan yang sudah muncul tiba-tiba di depan Davia.

Davia mengangguk. "Nggak apa-apalah, Kak. Santai aja. Yang penting gue bisa numpang charger handphone. Di mana?"

Devan menunjuk sebuah sambungan listrik di pojok ruangan dekat meja. Davia mengeluarkan kabel dan bergerak ke colokan dengan semangat.

"Kak, belajarnya sini aja, ya?" kata Davia menunjuk meja tempat ia mengisi baterai ponselnya.

Mata Davia kembali sibuk ke ponsel sehingga ia tidak sadar bahwa Devan berjalan ke belakang dan kembali muncul dengan tumpukan kertas di tangan. Devan menaruh kertas itu di meja.

"Itu punya lo. Masih ada lagi nanti. Itu cuma latihan buat minggu ini."

"Hah? Sebanyak ini?" tanya Davia tidak percaya. Ponsel di tangannya nyaris terlempar. "Terus gue harus ngerjain berapa banyak hari ini?"

"Semampu lo. Sampe jam 6 sore pokoknya. Abis itu, lo gue anter balik," jawab Devan dengan senyum sinis.

"Tapi, Kak, gue ada acara jam lima so—ups!" Davia menutup mulutnya tiba-tiba.

Devan memandang curiga Davia, ia tahu ada sesuatu yang cewek itu sembunyikan. Namun, daripada mendebat, ia memilih untuk tetap menutup mulut dan berpura-pura tidak mendengar perkataan Davia.

Jam berjalan sangat cepat, Davia berusaha sebisanya untuk mengerjakan tumpukan soal yang diberikan Devan, tapi rasa gelisah menghantuinya. Ponsel yang ditaruh persis sebelah Davia terus berdering.

Berulang kali Davia mengambil ponsel itu lalu mengetik balasan dan kembali menaruhnya. Tanpa ia sadari, Devan memperhatikan sikapnya sejak tadi melalui ekor mata. Ia berdecak kesal ketika Davia akan mengambil ponselnya lagi untuk ke sepuluh kalinya.

"Lo mau belajar apa main handphone?" tanya Devan sinis. Ia melipat tangannya di dada, memandand Davia tajam.

Davia menggigit bibir. "Dua-duanya?" jawab cewek itu ragu. Ia menaruh ponselnya lagi takut takut.

"Lo nggak bisa ngerjain dua hal sekaligus. Pilih salah satu," kata Devan tegas. Ia berdeham sebentar, lalu melanjutkan. "Tapi karena sekarang urusan lo sama gue, berarti lo harus milih belajar."

Devan berjalan mengambil kabel dan ponsel Davia, lalu memindahkannya ke sambungan listrik yang lain. Davia memandang Devan kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kak, tapi gue—"

"Satu jam lagi, dan handphone lo bakal balik. Abis itu lo bisa balik main RP sepuas lo," kata Devan sarkas.

Davia mengerucutkan bibirnya, kesal. Namun, Devan tidak peduli. Bagaimana pun juga, Devan tahu kalau Davia sudah terperangkap di sini dan tidak bisa pergi ke mana-mana hingga jam enam sore.

◎ ◎ ◎

Sejak perjalanan pulang dari rumah Devan hingga sekarang sampai di rumahnya, Davia tidak membuka mulut sama sekali. Devan benar-benar membuatnya mengerjakan soal-soal matematika itu hingga pukul enam sore.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant