◎ 20. Keputusan Salah ◎

32.3K 4.9K 1.6K
                                    

Baby, i miss you.

Ponsel Davia berbunyi berulang kali. Cewek itu mematikan ponselnya dan berlari menuju kelas. Ia tahu pasti siapa pengirim pesan itu, dan ia membencinya.

Sesampainya di kelas, Davia menaruh kepalanya di atas meja, lalu memejamkan mata. Ia benar-benar sangat kesal sekarang. Setelah apa yang dilakukan Rendi dan Arman di kantin, kali ini giliran ponselnya yang berubah.

Davia sempat melihat pengirim pesan tadi, ia memilih tidak membalasnya lebih dulu. Ia tidak mengerti kenapa orang itu kembali datang ke hidupnya. Padahal Davia sudah berusaha melupakannya.

Ia mengeluarkan ponsel di kantungnya, lalu menyalakan benda itu lagi. Layar putih muncul dan beberapa menit kemudian ponselnya menyala. Davia menggerakkan jarinya ke arah aplikasi perpesanan ketika bunyi notifikasi kembali terdengar.

By
Maaf
Saya tahu saya salah karena pergi gitu aja
Tapi saya balik buat kamu
Kamu jangan diemin saya kayak gini
Ayo bicara
Baby

Davia melempar ponselnya ke dalam tas. Ia sudah berhasil merangkak keluar dari dunia itu. Namun, kenapa cowok yang membuatnya patah hati itu kembali? Ia merasa muak karena seperti dipermainkan, tapi ia tidak bisa berbohong. Ada rindu yang masih tersisa di hatinya.

Kesal, Davia pun memutuskan untuk menutup kembali pesan itu dan mematikan ponselnya. Ia tidak akan menjawab pesan Jevan kali ini. Tidak akan.

◎ ◎ ◎

Jam pulang sudah berbunyi, Davia buru-buru merapikan tas dan berjalan keluar kelas. Ia masih takut setiap mengingat kejadian kemarin, ketika ia dikunci di dalam kelas sendirian.

Ia berjalan cepat menuju pagar sekolah dan menunggu taksi yang dipesan melalui aplikasi daring datang. Sambil menunggu, sesekali ia melihat ponsel dan menggigit bibirnya. Seharian ini Devan tidak mengabarinya, Davia juga belum melihat Devan sama sekali, bahkan di perpustakaan.

Ia sedikit khawatir, tapi tetap berpikir positif. Mungkin kakak kelasnya itu sedang mengurus ayahnya di rumah sakit. Tiba-tiba senyum Davia melebar.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam menepi ke arahnya, ia mendekat dan membuka pintu di samping kursi pengemudi.

"Pak, atas nama Davia?" tanya Davia ramah.

Bapak yang memegang kemudi itu mengangguk. "Iya, Dek, selamat sore, ya. Silakan naik."

Bunyi kunci mobil yang dibuka terdengar. Davia duduk di sebelah pengemudi dan memakai safety belt-nya.

"Pak, saya ubah lokasi nggak apa-apa, kan? Tadinya mau langsung pulang, tapi tiba-tiba pengin mampir ke satu tempat dulu," tanya Davia. Ia sudah memegang ponsel dan membuka aplikasi pemesanan taksi daring itu.

"Iya, nggak apa-apa, Dek. Langsung ubah aja di aplikasi. Memang mau ke mana dulu jadinya?"

"Rumah Sakit Indra Medical."

◎ ◎ ◎

Tangan Davia sudah penuh dengan satu keranjang berisi buah-buahan. Ia berjalan memasuki lobi rumah sakit dan segera menuju lift dan menekan angka 4 sebagai lantai tujuannya.

Sesampainya di lantai 4, ia berjalan menelusuri lorong sambil mengingat nomor kamar ayah Devan. Iya, Davia akhirnya menjenguk ayah rekan timnya itu. Mungkin saja nanti ia akan bertemu dengan Devan.

Terasa aneh memang, tapi Davia merasa harus melakukan ini. Ia harus datang dan menjenguk ayah Devan lalu memastikan keadaan Devan baik-baik saja sekarang.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now