◎ 25. Semakin Dekat ◎

33.6K 4.7K 1.6K
                                    

"Lo kenapa bohong sama nyokap, Dav?"

Davia tertawa kecil mendengar pertanyaan Devan. "Lo pernah bayangin nggak, Kak, rasanya jadi orang tua yang udah capek gedein anak, eh taunya anak itu malah dihina banyak orang?"

Devan menggeleng.

"Pasti sedih banget, itu udah pasti. Makanya gue nggak mau nyokap gue tau apa yang terjadi sama gue di sekolah. Kecuali hal baik, gue nggak akan cerita sama nyokap," jawab Davia.

Untuk sesaat Devan memandang Davia dengan heran. Kemudian ia mengambil beberapa lembar kertas di dalam tasnya. "Lo pernah mikir nggak gimana rasanya jadi orang tua yang dibohongin sama anaknya?"

"Eh? Apa?" tanya Davia bingung. "Ya sedihlah pasti, itu bukan hal yang aneh."

"Nah," jawab Devan, ia menjentikkan jarinya, "berarti lo tau, kan, gimana perasaan nyokap lo kalo tau lo bohongin beliau?"

Bibir Davia mengerucut, kesal. Baru saja ia akan membuka mulutnya untuk menjawab, Devan langsung mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.

"Nggak usah dijawab atau dibantah, cukup lo tau aja," katanya. "Nih, kerjain yang paket 15. Gampang, cuma teori keterbagian."

"Teori apa?"

"Keterbagian," jawab Devan. "Kenapa? Nggak pernah denger?"

Davia menggeleng. "Nggak pernah, emang teori kayak apa?"

"Oh iya, gue lupa lo masih kelas sepuluh," Devan sedikit tertawa, "mana sini contoh soalnya?"

Davia menunjuk sebuah soal di kertas yang baru saja Devan berikan. Devan dengan refleks mendekat ke arah Davia, sangat dekat hingga tanpa sadar wajah Davia memerah.

"Yang mana?" tanya Devan lagi.

Davia menahan napas, ia merasa suara Devan terdengar begitu dekat. "N—nomor satu," jawab Davia. Ia berusaha agar suaranya terdengar normal.

Sayangnya, Devan malah semakin mendekat ke arah Davia dan hal itu membuat Davia tidak bisa lagi menahan malu. Adegan di drama Korea yang baru beberapa hari lalu ditontonnya kembali muncul di bayangan Davia.

"A—ah, gue bacain aja deh, Kak. Lo lama, sih," kata Davia sedikit keras. Suaranya bergetar dan buku-buku jari yang memegang kertas itu terlihat pucat. "Diketahui a679b merupakan bilangan bulat lima digit. Jika bilangan tersebut habis dibagi oleh 72, tentukan nilai dari a dan b!"

Devan menjauh dan segera mencoret-coret sebuah kertas kosong di tumpukan kertas lainnya. "Angkanya a679b, habis dibagi 72?"

Davia mengangguk.

"Pertama, lo cari dulu 72 itu berapa dikali berapa?"

Davia menghitung di dalam kepalanya. "Satu dikali tujuh puluh dua, dua dikali tiga puluh enam, tiga dikali dua puluh empat, empat dikali delapan belas, enam dikali dua belas, delapan dikali sembilan."

"Ambil FPB-nya, berarti delapan dikali sembilan," kata Devan. Ia menulis angka delapan dan sembilan. "Pertama itu kita cari b-nya. Karena delapan itu sama dengan dua pangkat tiga, artinya tiga angka di belakang harus habis dibagi sembilan."

"Oh, oh, jadi 79b harus habis dibagi sembilan?" tanya Davia bersemangat, ia mencoret-coret beberapa angka dengan tekun.

Devan memperhatikan keseriusan Davia, senyum kecil muncul di bibirnya. Davia yang serius tampak sangat lucu sekaligus menyebalkan baginya. Sosok di depannya ini benar-benar menyimpan begitu banyak misteri.

"Ah, ketemu. Cuma 792 yang habis dibagi sama 9. Berarti b-nya itu dua?" tanya Davia mengagetkan Devan.

Devan yang tidak menyangka Davia bisa secepat itu menemukan jawabannya langsung membuang wajah ke samping. Ia tidak ingin Davia tahu kalau ia memperhatikannya sejak tadi.

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang