◎ 21. Mata-Mata ◎

32.3K 4.8K 1.3K
                                    

Wanita itu menggeleng. "Saya Anna, mamanya Devan."

Davia tidak bisa menahan rasa terkejut ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut wanita itu. Pantas saja Davia merasa mengenali wanita ini, karena setelah diamati lebih saksama, wajah Devan dan wanita ini sangat mirip. Apalagi iris mata dan bentuk hidungnya.

"Tante ... mamanya Kak Devan?" tanya Davia terbata. "M—maaf, Davia beneran nggak tau kalau Tante itu mamanya Kak Devan."

Wanita itu tersenyum, sedikit menyipitkan mata. "Nggak apa-apa, Davia. Saya yakin Devan nggak akan cerita apa pun ke kamu soal saya."

Davia menunduk, ia menyesali keputusan yang diambilnya sejak tadi. Harusnya ia langsung pulang ke rumah saja daripada pergi ke rumah sakit dan menemukan fakta lain ini.

"Kamu masih nggak percaya kalau saya ini mamanya Devan?" tanya wanita itu sambil mencari sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah foto kecil dari dalam. "Ini saya dan Devan waktu dia berumur lima tahun."

Davia mengambil foto yang diberikan padanya dan memperhatikan foto itu. Devan kecil tampak sangat menggemaskan dengan gigi ompong di depan dan senyum lebar yang membuat lesung pipinya terlihat.

"Kak Devan lucu banget, Tante," kata Davia masih kagum, ia memberikan foto itu lagi pada Tante Anna. "Beda banget sama sekarang."

Kening Tante Anna berkerut. "Beda gimana? Oh, pasti sekarang Devan selalu serius dan jarang ngobrol, ya?"

Davia mengangguk. "Dan galak."

Tawa Tante Anna pecah. "Masa iya? Dulu Devan sangat manis, dia juga cengeng. Setiap saya mau pergi kerja, pasti dia nangis sambil megangin kaki saya."

Davia tertawa, ia membayangkan bagaimana ekspresi Devan saat itu. Davia sangat menyukai anak kecil, dan wajah Devan di sini terlihat sangat menggemaskan. Andai saja dulu Davia bertemu dengan Devan kecil, mungkin Devan akan menjadi teman kecil yang menyenangkan bagi Davia.

Tante Anna mengambil selembar tisu lagi dari Davia, kemudian mengusap wajahnya. "Kita ke bawah aja gimana?"

"Eh, tapi Tante ... Om gimana?" kata Davia. "Om nggak apa-apa ditinggal sendiri?"

"Nggak apa-apa, udah ada dokter yang nanganin. Lagipula, saya harus pergi sebelum Devan kembali," kata Tante Anna dengan senyum kecil.

Davia hanya mengangguk dan berjalan di samping Tante Anna. Meskipun kepalanya dipenuhi tanda tanya, Davia memilih untuk diam. Ia tidak ingin rasa ingin tahunya sekarang merusak segalanya.

Keheningan terjadi ketika Davia dan Tante Anna berada dalam lift sampai berjalan menuju kantin. Tante Anna tampak sibuk dengan ponselnya dan sesekali menelepon seseorang sambil memberi tahu posisinya sekarang.

Saat mereka memasuki kantin rumah sakit, Tante Anna meminta Davia untuk mencari tempat duduk. Davia memilih dua buah kursi di sudut ruangan, cukup tertutup, tapi tetap nyaman.

Beberapa menit kemudian, Tante Anna datang dengan dua buah cangkir dan dua potong kue. Davia tersenyum senang ketika mencium aroma cokelat panas.

"Saya nggak tahu kamu suka apa, tapi semua cewek selalu suka cokelat, kan? Makanya saya pesenin kamu cokelat panas," kata Tante Anna sambil duduk di hadapan Davia.

Davia mengangguk. "Davia suka banget cokelat kok, Tante. Jadi, Tante apa kabar? Maaf ya, Tante, Davia tadi datengnya nggak pas."

"Kabar saya baik," jawab Tante Anna, ia menyesap kopi dari cangkirnya, "hanya saja ... saya sedang rindu Akbar, dan Devan. Sayangnya, saya nggak bisa ketemu sama mereka."

The Memories of Algebra (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now