13 | Darkside of Gaga

1.5K 94 0
                                    

Setelah berkumpul hingga malam dirumah Raka, mereka semua pulang kerumah masing-masing.

Gaga berjalan dengan terlampau santai, sembari memasukkan tangannya kesaku jaket yang saat itu ia kenakan. Beberapa kali, ia menghela nafas lelahnya.

Lelah, bukan karena harus bersama Raya seharian. Lelah untuk menuju rumahnya. Lelah sendiri disana. Lelah. Itulah sebabnya, terkadang ia merasa enggan jika harus pulang lebih cepat daripada malam hari kerumahnya. Jika bisa, ia benar-benar tak mau pulang kesana.

"Den Gaga baru pulang, mau disiapin makanan dulu? Atau mandi air hangat?"tanya sang asisten rumah tangga saat ia baru memasuki rumah mewah itu.

"Nggak bik, Gaga bakal langsung belajar atau tidur aja. Gaga udah makan sama mandi dirumah bunda Raina."jawab Gaga dan tersenyum kecil, lalu melangkahkan lagi kaki jenjangnya ke lantai atas.

Sang bibik mengangguk mengerti. Sangat tak diherankan sekali. Karena, itulah kebiasaan tuannya itu. Pergi sampai larut dan pulang dengan mimik wajah yang sangat berbeda jika ia bersama sahabat-sahabatnya. Juga, tak diherankan jika semua kegiatan nya dilakukan dirumah seseorang yang baru disebutnya, toh papa dan mamanya mengizinkan itu semua, karena mereka adalah seorang sahabat sejak dahulu.

Entah saat semuanya baik-baik saja atupun tidak.

Gaga menghela nafas kasar setelah menduduki meja belajarnya. Rasanya sangatlah malas untuk melakukan kegiatan apapun. Bahkan, untuk pergi tidurpun lebih dari kata malas. Jadi, apa yang seharusnya ia lakukan?

Sebagai keputusannya, Gaga memilih membuka laptop dengan merk apel tergigit yang berwarna silver itu. Wi-fi nya langsung saja tesambung dengan otomatis. Baru saja beberapa menit, video call langsung masuk kedalam nontifikasinya.

Dari sang papa.

Gaga menekan tombol untuk menjawab, yang langsung menampilkan wajah sang papa dengan setelan kemeja rapinya, dan wajah Gaga yang masih mengenakan jaket.

"Kamu darimana?"tanya sang Papa setelah melihat wajah sang anak laki-lakinya.

"Dari rumah Bunda Raina, pa. Papa lagi dikantor?"tanya Gaga untuk berbasa-basi, meski sebenarnya ia tau.

Sang papa mengangguk, dan tersenyum hangat. "Mama kamu lagi di rumah. Gimana sama les ujian kamu? Berjalan lancar? Ada kesulitan?"tanya sang papa.

"Nggak pa. Kayak biasanya. Bisa dibilang lebih dari kata enak les disana. Makasih ya pa, udah milihin Gaga."jawab Gaga dan tersenyum dengan tulus, meski tak sampai kematanya.

Sang papa mengangguk dengan bersemangat. "Kamu harus belajar yang bener. Biar nanti, masuk universitasnya juga nggak susah. Papa denger, disini, jurusan bisnisnya semakin berkembang. Papa yakin, kamu bisa."

Gaga tersenyum simpul, "iya pa. Udah malem banget diindonesia. Gaga tidur dulu ya Pa."sang papa mengangguk.

"Good night. Have a nice dream."ujar sang papa sebelum mematikan sambungan mereka.

Senyum Gaga langsung memudar, tak bisa ia pungkiri bahwa berinteraksi dengan sang papa akan menimbulkan sebuah sakit yang tempatnya tak bisa tergantikan. Apalagi ketika beliau harus membahas wanita yang sepuluh tahun ini bersamanya. Hatinya lebih dai kata teriris. Bahkan kupingnya tak bisa menerima itu dengan begitu mudahnya.

Gaga memegang pelan dadanya, kemudian menangis dengan pelan. Semua ingatannya masih sangat jernih tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Ia memang masih terlalu anak-anak untuk mengingat itu.

Anak berumur 7 tahun menyaksikan semua hal yang tak seharusnya ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia hanya bisa menangis sembari menutup mulutnya agar isakannya tak terdengar jelas.

Gaga tak bisa menahannya. Laki-laki itu sudah menangis dengan nyata, bahkan sudah menyambunyikan wajahnya di atas tangan yang dilipatnya. Itu akan selalu sakit.

Ia memang selalu tertawa setiap harinya berkat sahabat-sahabatnya, memang. Namun, pada malam hari, ia juga tak bisa menghindari sakit yang ia rasakan. Bahkan tangisnya tak pernah pudar, hingga ia benar-benar bisa tidur. Barulah itu terselesaikan.

Sebenarnya, tak sampai disana. Dulu, sebelum ia benar-benar bisa menyesuaikan diri, bahkan dalam mimpinya pun ia masih bisa melihat hal buruk yang ingin ia lupakan itu. Namun, setelah Raya mengetahui bahwa tidur Gaga tak pernah lelap, beberapa kali ia terus memaksa Gaga agar menetap dan tidur bersama Raka, agar laki-laki itu bisa membantunya.

Akhirnya, hilanglah mimpi buruk itu. Namun, ingatannya tentang hari itu tak pernah hilang. Bahkan, sang bibik sering sekali memilih bisu dibalik pintu kayu kamar tuannya itu, mendengarkan tangis yang terdengar pilu. Ia ingin menenangkan, namun ia tau kehadirannya tak seberarti itu untuk bisa menenangkan majikan nya itu.

Saat itu, umur Gaga sedang berjalan 7 tahun. Masa-masa itu indah. Ia sering bermain ke taman komplek bersama Raka, Raya dan Ginas. Mereka adalah kumpulan anak-anak yang tau nya hanya bermain dan makan. Dunia mereka hanya itu.

Hari itu hari sabtu. Hari libur untuk mereka semua. Karena sang mama yang berkepribadian seperti bunda dari Raka pun sudah menyiapkan sarapan untuknya dan sang ayah. Dibangunkannya Gaga dengan lembut, seperti biasanya.

Gaga kecil yang memang cerewet dan selalu memperhatikan sekitarnya dengan seksama pun selalu bertanya, tentang luka memar pada pipi sang mama, serta tutupan plester kecil didahi beliau. Namun, saat itu beliau hanya menjawab bahwa ia tersandung ditangga tadi malam, saat akan mengambil air untuk diminumnya.

Tentu saja, Gaga bisa percaya dengan ebgitu mudahnya. Hari dengan cepat berlalu. Sorenya, ia pulang ke rumah. Terdengar dengan jelas tangis yang berada pada lantai atas, tepat dikamar mamanya berada.

Dengan polosnya, Gaga menghampiri beliau, lalu memeluk sang mama dan tanpa tau sebabnya, ia pun menangis dipelukan sang mama sembari mengeluarkan tanya tentang alasan mamanya menangis.

"Nggak papa. Mama tadi nonton film. Filmnya sedih sayang, jadi mama nangis. Kamu kenapa ikut nangis?"tanya sang mama dengan lembut sembari tersenyum dan mengusap rambut anaknya.

Gaga terisak kecil, sisa dari tangisnya. "Gaga takut. Gaga takut mama kenapa-napa. Gaga cengeng, maaf mama."jawabnya dan memeluk erat sang mama.

"Sayang, ketika kamu nangis, bukan berarti kamu cengeng. Kadang, manusia memang harus menangis untuk meringankan rasanya. Nanti, kalo kamu udah dewasa, jangan pernah beranggapan kamu lemah ketika kamu nangis. Inget nak, orang yang lemah bukan orang yang selalu nangis, tapi orang lemah adalah orang yang nggak bisa bangkit setelah tangisnya."beritahu sang mama kemudian membawa Gaga keluar dengan menggendongnya.

"Jadi Gaga nggak lemah dong ma?"tanya Gaga dengan suara khas anak-anak dan dengan nada exited nya.

"Anak mama selalu kuat, mama tau itu."jawab sang mama dengan yakin.

Gaga tersenyum senang dengan begitu lugu, kemudian dimandikan oleh sang mama dengan penuh kasih sayang. Bahkan, mereka masih sempat bercanda kala itu.

"Gaga sayang, nanti, kalo mama lagi pergi, Gaga diem sama Bunda Raina ya? Jangan nakal. Kalo bunda marah, jangan suka cemberut. Apa yang bunda bilang juga jangan dibantah."pesan sang mama saat sedang memakaikan bedak pada pipi sang anak.

Gaga menoleh polos. "Bunda Raina cerewet sih ma, kuping Gaga sakit denger suara bunda Raina. Tapi, Gaga juga suka makanan bunda Raina. Gaga sayang sama bunda Raina kalo bunda lagi bikinin Gaga makanan. Tapi, Gaga janji nggak bakal nakal lagi. Apalagi sama mama. Jadi, mama jangan nangis."ujar Gaga sembari menekan-nekan pipi sang mama.

Sang mama tersenyum dan mengangguk, mereka lalu menghabiskan waktu untuk bercerita sembari menonton kartun kesukaan nya.

RAGAWhere stories live. Discover now