11| Perhatian

1.7K 111 0
                                    

Raya melangkahkan kakinya dengan pelan, dilorong kelasnya setelah bel yang pertanda pulang berbunyi. Raka tidak datang ke kelasnya, yang menyebabkan ia harus berjalan sendiri untuk ke parkiran.

Kenapa tidak bersama teman sekelasnya? Karena seperti yang ia jelaskan bahwa kelas ipa 1 adalah sebuah kelas tanpa komunikasi, kecuali bersama orang-orang terdekat. Lagipula, Raya adalah tipe yang seperti itu. Ia akan merasa tidak nyambung jika bersama orang-orang yang tidak terlalu dikenalnya, bisa juga beberapa orang merasa tidak nyaman berbicara dengan Raya karena dalam beberapa perkataan ia akan menjadi sinis.

Nah, jika orang itu tak mengenal Raya, ia pasti akan tersinggung dan mengira Raya tak menyukainya.

Tangannya tiba-tiba tertarik kebelakang dengan pelan, dan didapatinya Gaga yang sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bersahabat.

"Kamu kenapa sih? Aku udah suruh nunggu dikelas sampe Bagas dateng dari chat, tapi kamu malah jalan duluan. Kan aku udah bilang, jangan jalan sendiri, toh kamu nggak suka juga kan. Aku nggak bermaksud ninggalin kamu, aku lagi ngomong sama Pak Patur. Kalopun nggak mau sama Bagas, bales chat aku dan bilang aku mau nunggu kamu. Mudah kan? Kamu kenapa sih?"omel Gaga dengan wajah sebalnya, mengingat tingkah Raya yang menurutnya tak biasa.

Satu hal yang perlu ditegaskan, Raya tak pernah mau berjalan sendiri, dan Gaga juga tak akan pernah membiarkan itu. Dan yang sangat Gaga ingat Raya sangat benci sendirian, maka dari itu ia akan tegas jika tentang hal itu.

"Ga, aku lagi nggak berminat buat berantem."ujar Raya dan melanjutkan langkahnya setelah melepas pelan tangannya.

Gaga menghela nafas kasar, beberapa orang terlihat memperhatikan mereka, apalagi suara omelan Gaga yang memang tidak bisa dibilang kecil dan tentunya mencuri perhatian.

Dengan cepat, Gaga langsung melangkahkan kaki ke samping Raya dan menggenggam lagi tangan Raya. Gadis itu tak menoleh, tentu saja ia tau pelakunya, siapa lagi yang berani menggenggam tangannya. Kecuali, orang itu ingin dihabisi Gaga.

Mereka akhirnya berjalan dalam diam menuju parkiran untuk menghampiri mobil Gaga yang sudah menunggu kehadiran mereka disana.

Setelah memastikan Raya memasuki mobil dengan aman, barulah Gaga melangkah untuk memasuki mobilnya.

Dilihatnya Raya langsung menyenderkan badannya ke senderan kursi mobil dengan mata yang dipejamkan, bahkan tas gadis itu masih ditempatnya.

Gaga mulai khawatir, jelas saja. Ini bukanlah Raya yang biasa ia temui. Raya yang bersemangat dan wajah cerahnya. Meski tetap putih, namun wajah dan bibir itu lebih mengarah ke warna pucat di mata Gaga.

"Lepas dulu tasnya Ray."ujar Gaga dengan lembut sembari menngarahkan tangan untuk melapaskan itu dari punggung Raya, yang dibalas dengan membangkitkan tubuhnya untuk mempermudah pergerakan Gaga untuk melepasnya.

"Kamu kenapa sih?"tanya Gaga dengan nada gumamamnya, seolah tak ingin Raya mendengar nada bingung dan jengkelnya itu.

Gaga kemudian mengangkat tangannya untuk mengarahkan nya ke dahi Raya, kemudian menghela nafas pelan saat mengetahui penyebabnya. Suhu badan gadis itu tidak normal.

Dengan cepat, Gaga langsung menyalakan mobilnya, bahkan membunyikan klakson beberapa kali karena beberapa siswa menghalangi jalan mobilnya.

"Ga, aku nggak mau ke dokter."ujar Raya dengan pelan.

Gaga tak menimpali, memilih tuli dan bisu pada saat itu. Namun, laju mobilnya tak bisa dibilang pelan. Seolah ia adalah orang yang paling punya kepentingan saat itu. Kali ini, biarkan ia menjadi egois.

Tiga puluh menit berlalu dan Gaga sudah memasuki ruang rawat yang dihuni oleh Raya dengan selang infusnya, meski ruangan itu didapatkan nya dengan paksaan penuh.

"Ga."panggil Raya yang memang dalam kesadaran penuh setelah diperiksa oleh dokter, bahkan ia sempat mendengar perdebatan Gaga dengan beberapa perawat dan dokter yang memeriksanya.

"Apa? Kamu nggak diijinkan buat ketawa. Terserah ya. Siapa suruh kamu kayak gitu didepen aku. Belagak nggak ngomong, pucet. Alasan aku jelas kan sekarang?"omel Gaga sembari menaruh air yang baru saja dibelinya di kantin rumah sakit.

"Iya Ga, nggak ketawa. Sante dong."jawab Raya dengan santai.

Gaga memutar bola matanya, sebal, jengkel, dan rasa malunya bercampur ajdi satu. Apalagi sekarnag ia mengetahu bahwa Raya mendengarkan semua alasan dan percakapan bodohnya dengan pihak rumah sakit.

Gaga membalik badannya sembari memegang air putih dan duduk di samping bangkar Raya. Melihat wajah Gaga saat ini bukanlah ide yang baik, bahkan Raya benar-benar tidak bisa menahan tawanya, membuat gadis itu langsung menyemburkan suara tawa yang membuat Gaga menatapnya dengan sebal.

"Ray, tadi kan aku bilang jangan ketawa."uajr Gaga dnegan nada sebal dan manjanya, membuat Raya langsung menutup mulutnya agar tidak tidak menimbulkan suara tawa, meski itu sebenarnya tidak mempan pada rasa geli yang Raya miliki.

"Sumpah Ga, nggak bisa."jawab Raya dan memegangi perutnya, bahkan matanya sudah berair karena tawa itu.

Gaga merengut kesal, "wajar dong. Apanya yang lucu sih? Dokter itu aja terlalu meremehkan penyakit. Menurut aku ini nggak ringan. Toh, aku juga bayar biaya rawatnya kok. Ck,dasar. Kamu sama mereka sama aja."

"Tumben, seorang Gaga Ginandar membenarkan apa yang dia lakuin, bukan membuat benar apa yang dia lakuin."ujar Raya dengan santai, sembari menyodorkan air yang diberi Gaga untuk meredakan tawanya.

"Manusia juga Ray,"timpal Gaga membuat Raya terkekeh dan menyerahkan kembali gelas itu ketangan Gaga.

"Lagian Ga, dokter tadi tuh bener. Sebnernya, yang ngeyl disini tuh kamu. Liat deh, bahkan tenaga aku udah pulih buat ketawain kamu. Aku bisa pulang sekarang. Malah maksa-maksa nginep segala. Ckck, dasar posesif."gerutu Raya semabri bangkit dari duduknya.

Gaga terlihat khawatir, masih tidak percaya bahwa gadisnya itu memang hanya kelelahan, tidak perlu rawat intensif segala, seperti yang diminta kepada sang dokter, hingga mereka harus beradu argumen didepan ruangan dan menjadi tontonan banyak orang.

"Iya iya, sabar, jangan asal berdiri aja. Tunggu susternya dateng buat lepas infus kamu dulu."titah Gaga dan menekan bel dekat Raya tidur.

Selang beberapa menit, suster langsung datang ketempat mereka dan melepaskan infus Raya yang tersisa setengah.

"Tuh kan mas, pacarnya nggak papa. Cuma kelelahan. Nggak demam tinggi banget kayak kata masnya."ujar suster tersebut sembari membereskan alatnya.

Gaga berdecak pelan, menatap sebal punggung suster itu, "iya sus, iya. Udah ah, jangan bahas itu mulu."ujar Gaga membuat keduanya terkekeh dan suster pamit, sebelum laki-laki itu menerjangnya.

"Kamu bisa jalan? Perlu aku ambilin kursi roda?"tanya Gaga sembari memegang tangan Raya yang sedang menurunkan kakinya dari bangkar untuk bersiap pulang.

"Ga, aku Cuma capek mikirn Raka. Serius deh nggak papa. Kalo sakit banget aku pasti bilang."jawab Raya menenangkan Gaga yang memang akan selalu berlebihhan jika tentang kesehatan Raya.

"Aku nggak percaya sama kamu."jawab Gaga dengan sewot dan berjalan bersama Raya untuk menuju parkiran rumah sakit, dan pulang dengan selamat.

Raya tersenyum kecil, mendengar beberapa omelan lagi-lagi harus terdengar dari Gaga karena membahas kesehatan Raya yang tak begitu diperhatikan oleh gadis itu.

Bonus.

"Gw sadar, gw udah cinta sama lo lebih dari diri gw sendiri diwaktu terdahulu yang bahkan gw nggak tau kapan itu terjadi."-Gaga.

"Segalanya harus seimbang kan? Jadi, biarin gw punya rasa yang sama ke elo."-Raya.

RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang