BAGIAN 36 - FILOSOFI KAKTUS

Start from the beginning
                                    

"Yaudah, sini." Lanang mengambil alih, dua kardus itu. Lalu berjalan ke mobil di ikuti Annur, dan Gendis disampingnya. "Uang adek habis, nih, pasti. Harusnya mas yang bayar. Ntar, kalau dimarahin mamah, gimana?"

Gendis menggeleng, "Nggak abis, kok, itu murah. Lagian, adek emang pengin beli."

"Manut aja mas." Gendis mengacungi Annur yang sudah jengah akibat debat kakak beradik itu, dengan dua jempolnya.

-WFTW-

"Ini mau ditanem disini, semua?"

"Iyalah, biar kelihatan berwarna, abisnya kosong melompong. Cuma ada pohon palm." Tutur Gendis, dia merasa rumah mamasnya itu butuh sedikit warna. Kebanyakan cuma warna hijau, dari rumput dan pohon palm. "Lagian itu ada tempat kosong, ditanemin bunga kek, biar bikin seger mata." Gendis menarik Lanang menuju bak tanaman, panjang dan cukup lebar, pasti pas kalau ditanami tanaman berdaun dan berbunga kecil namun rimbun, seperti yang Gendis beli tadi. Entah bapak mau nanam apa, dibiarkan begitu. Padahal, itu sudah pakai tanah yang dicampur pupuk kompos, lagipula sudah ada kerikilnya. Kan sayang, kalau dianggurin.

"Iya-iya." Lanang menurut, dia menuju ke tempatnya. Menyiapkan segala peralatan 'perang'. Bersama Gendis, mereka mulai membuat lubang, dan menaruh polybag kecil berisi tanaman hias, kedalam sana. Lalu bekerja sama, untuk menanam pohon pucuk merah disebelahnya. Begitu terus selanjutnya. Annur hanya melihat adegan keduanya. Apaan, dia mau membantu malah diusir, suruh duduk saja, katanya. Padahal, kan, baik, bumil banyak gerak.

Annur bersyukur, Gendis telah kembali ceria seperti semula. Berkat, Gendis yang akhirnya mau mengutarakan segala keluhannya. Kesehatannya juga, perlahan membaik, walau harus membuang darah seumur hidupnya. Tapi, setidaknya tidak ada komplikasi penyakit lain.

"Selesai!"

"Yaudah, sini, minum dulu!" teriak Annur dari teras rumah. Dia sudah menyiapkan jus buah untuk dua orang tercintanya itu.

"Aku mau ke toilet dulu." Ujar Gendis, seraya berjalan melewati Annur.

"Apa ini?" tanya Lanang sambil menyentuh dagu Annur, setelah mencuci tangannya, di keran air yang tersedia di halaman rumah.

"Ih, mas. Basah."

"Biarin,"

"Nakal!" cubit Annur pada perut Lanang, spontan si empunya berteriak-teriak. Gendis tertawa sendiri melihat dua pasutri di teras rumah itu. Rasanya, ingin waktu berhenti sebentar, melihat momen yang sungguh memanjakan matanya. Melihat orang-orang disekitarnya bahagia.

-WFTW-

"Adek abis ngapain aja?"

"Kepo deh,"

"Adek," Gendis yang tengah tidur dipangkuan Panji terkikik, berhasil membuat gemas Kula. Panji dan Kula lagi main pe-es. Gendis menggunakan paha Panji sebagai bantal, seraya menonton mereka adu lawan main.

"Nanem pohon, sama bunga."

-WFTW-

"Aku juga baru lihat."

"Adek pasti yang beli."

"Ada kertasnya, mas." Annur meraih gulungan kertas cokelat, dan membukanya.

Annur tersenyum saat membacanya, dia bahkan hampir menangis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Annur tersenyum saat membacanya, dia bahkan hampir menangis. Netranya kembali menatap tiga pot kecil keramik, yang disana tertanam kaktus mini. Pastilah Gendis yang menaruhnya, tadi siang. Annur dan Lanang baru menemukannya petang ini, di tepian jendela kamarnya.

"Adek ya?" Annur mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Lanang. "Manisnya."

-WFTW-

"Nanem pohon apa?" Kula melirik, karena tak ada jawaban dari adiknya. "Yeu! Tidur."

"Biarin, deh."

"Lo yang gendong," setelah bicara itu, Kula auto ngacir. Kabur dari sana. Mengabaikan teriakkan Panji, yang bahkan tak mengganggu Gendis. Gendis tidur mirip orang mati, tidak terganggu sama kegaduhan yang sering kedua mamasnya buat.

Kula membuka pintu kamarnya cepat, segera menutup dan menguncinya. Tapi matanya menangkap, sesuatu di jendela, ada tiga pot keramik, kaktus mini, berjajar di sana. Penglihatannya menangkap gulungan kertas cokelat kecil, berpita merah. Kula segera membukanya.

Bibirnya menggumam, membaca baris perbaris kalimat yang tertulis disana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bibirnya menggumam, membaca baris perbaris kalimat yang tertulis disana. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. "Apaan sih, adek, sok sweet banget." Kula tahu itu Gendis, dari tulisan tangannya.

Tangannya bergerak mengambil salah satu pot keramik berwarna baby blue itu, dia memandangnya lamat. "Gue tahu, hidup lo mirip kaktus dek, keras. Tapi, lo tetap bertahan."

Disisi lain, ditempat berbeda. Setelah Panji membopong Gendis ala bridal. Tak berat sih, bobot tubuh Gendis menurun banyak. Jadilah, tidak secapek itu membawa Gendis ke kamar. Panji kembali ke kamar miliknya. Panji juga melihat pot kaktus di jendela. Masih dengan gulungan kertas cokelat berisi filosofi. "Bunga kaktus? Emang kaktus punya bunga? Baru tahu. Ah, bodo ah!"

Panji terus membaca baris demi baris tulisan dikertas itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Panji terus membaca baris demi baris tulisan dikertas itu. Sembari tersenyum, hingga matanya hilang. "Adek, kan gue baper."

-WFTW-

Filosofi Kaktus Source: Mesin Pencarian Google, berbagai sumber.

Mulmed bukan punya saya.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 06 Maret 2019.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now