BAGIAN 26 - DROP OUT

123 24 7
                                    

Sudah dua minggu setelah lamaran itu berlalu. Keadaan masih tenang, sebelum siang itu, Panji pulang membawa berita buruk. Dia menyerahkan sebuah surat dari kampus. Bahwa dia di DO alias drop out.

"Ini nggak bener kan, mas?" pasalnya, alasan Panji dikeluarkan adalah karena pelecehan seksual, yang bahkan tidak dia perbuat.

"Mamah sama bapak, disuruh ke kampus. Buat kepastiannya. Panji bersumpah, Panji nggak nglakuin itu. Ini fitnah, mah." Air matanya meleleh, Panji menangis dalam diam. Dia berlalu ke kamar. Mengunci diri disana.

Mamah hanya termangu, dia juga tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali menunggu bapak pulang. "Bagaimana ini?"

-WFTW-

Malamnya, ketegangan benar-benar menguasai ruangan itu. Disana hanya ada mamah, bapak, Panji. Panji disidang bapak. Lanang, Kula dan Gendis diminta tidak ikut campur dalam masalah ini. Tapi, ketiga orang itu ikut mendengarkan dengan duduk di pantry dapur.

'Brak!'

Semua berjengit, kala bapak menggebrak meja setelah membaca isi surat tersebut. Mamah bahkan sudah tergugu. Tak mampu berucap satu kata pun.

"Apa-apaan ini, mas?" pertanyaan bapak, seperti mengandung nada tidak percaya pada Panji. "Mas jawab," suara bapak memang pelan, tapi sarat akan tekanan.

Panji tidak tahu harus menjelaskan dari mana, dia juga tidak tahu dimana dia berbuat begitu, setahu dirinya, dia tidak pernah melakukan tindakan tidak senonoh macam itu.

"Panji!" kesabaran bapak menghilang entah kemana. Dirinya dikuasai emosi. Dari bapak ditelpon mamah, untuk segera pulang. Firasatnya sangat buruk, dan benar adanya.

"Bapak!" teriak mamah.

"Aku nggak nglakuin apa-apa, bapak. Bapak nggak percaya sama aku? Bapak ragu sama anak bapak sendiri?" Panji hampir hilang kesabaran. Dia akan menyebut dirinya 'aku', jika sedang di puncak amarah. Bapak menghela napasnya berat, dia hampir saja menampar Panji. Tangannya sudah mengudara, siap mendaratkannya di pipi Panji.

"Baiklah, kita selesaikan besok. Bapak perlu bukti dari kampusmu itu." Bapak pergi dari sana, disusul mamah yang mencoba menenangkan bapak. Panji juga beranjak, sepertinya tidur akan sedikit membantu, menghilangkan gundah gulananya. Tapi langkahnya berhenti kala mendengar obrolan bapak dengan mamah di dalam kamar, yang pintunya tidak tertutup sempurna.

"Gimana ini? Kenapa Panji bikin masalah? Sebentar lagi Lanang menikah. Kita harus gimana mah!"

"Mamah yakin, Panji nggak nglakuin itu. Jangan buat keputusan yang belum jelas sebabnya, pak."

"Mah, gimana kalau ini berimbas pada pernikahan Lanang? Gimana coba?"

"Bapak nggak boleh hilang kepercayaan sama anak bapak sendiri."

Panji mengepalkan tangannya, hingga buku-buku jarinya memutih. Bisa-bisanya bapak bilang seperti itu. Padahal juntrungannya saja belum jelas. Dan bapak sudah mengambil kesimpulan. Bahkan membawa-bawa pernikahan Lanang. Kalau mereka gagal menikah, berarti dia penyebab utamanya.

"Maafin gue, mas."

-WFTW-

'Tok tok tok!'

Sudah berulang kali, Gendis mengetuk pintu berwarna cokelat itu. Tapi si empunya tidak menyahut.

"Ngapain disitu, sih, dek?" suara Kula mengalihkan fokus Gendis.

"Mau ngasih obat." Jelasnya. Biasanya kan, Panji selalu kasih susu ke Gendis. Mungkin saja, minuman itu dapat memperbaiki mood buruknya Panji.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now