BAGIAN 20 - ATTA

134 25 13
                                    

Punggung kokoh itu disandarkannya di pintu yang baru saja tertutup. Cukup sebentar, lalu berjalan menuju kasur king sizenya. Atta masih terbayang kejadian di resto yang rasa-rasanya membuat jantungnya berhenti berdetak.

Gendis menyukainya. Atta tahu hal itu. Hey, dia cowok peka tahu. Tatapannya itu, berbeda. Dia lebih menjaga sikap jika di depan Atta. Tadi tak sengaja, Atta menangkap air muka Gendis. Disana tersirat luka. Entah, mbaknya itu membicarakan apa dengan Gendis. Gendis itu lucu, manis. Atta diam, bukan berarti dia tidak memperhatikan.

Katanya Atta cowok alim. Kok, dia bayangin cewek sih? Logikanya sedang tak sejalan dengan hatinya, itu jawabannya. Bukankah itu manusiawi? Manusia, wadahnya dosa. Atta tidak sesuci itu. Sepertinya Abah benar. Sekolah umum akan lebih banyak godaannya ketimbang di pesantren. Karena cowok-cewek pasti dipisah. Dijadikan satu, sesama mahram. Bukan berarti godaan di pesantren tidak banyak. Tapi memang lebih banyakan diluar sana. Beliau sudah mengingatkan dari awal. Makanya kurang setuju akan hal itu.

Dibilang suka, mungkin iya. Karena kepribadiannya yang seru. Humble dan ce-ro-bohnya yang tidak ketulungan. Efek dari pubertas, Atta sedang mencari jati dirinya. Hormonnya sedang meningkat. Rasa ingin tahu muncul tanpa perintah.

"Ya, cukup tahu rasanya."

Fatimah, mungkin abah sudah mengatur tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Ya, abahnya memilih Fatimah. Masha Allah, dia cantik, bukan hanya parasnya tapi juga akhlaknya, walaupun dari keluarga yang sungguh sederhana. Siapa yang tidak tertarik? Tidak menutup kemungkinan. Suatu saat nanti ada seorang lelaki sholeh yang mengkhitbahnya lebih dulu. Presentase 'mungkin'nya sangat besar. Namun, semua juga tergantung Fatimah. Karena dia juga harus ridho, bukan?

Atta tak takut nikah muda. Daripada berzina. Karena dia sudah mulai paham tentang apa itu menikah dan membangun rumah tangga. Karena, pernikahan adalah ibadah paling lama. Tapi Atta ingatkan sekali lagi, manusia hanya sekedar berencana. Allah yang menentukan. Lapang dada harus tetap ada, jika rencana itu belum terwujud.

-WFTW-

"Nnur?" Annur yang sedang lembur mengoreksi pr para murid. Menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.

"Ya,"

Paklek, a.k.a abah Atta bertanya dikala duduk santai menikmati buku yang tengah dibacanya. Semua penghuni rumah memang sedang berada disana. Tak terkecuali Atta yang lagi duduk lesehan di karpet bulu. Sedang ngobrol juga sama a'a.

"Dia ingin ketemu kamu." Annur tahu siapa yang dibicarakan paklek. Umminya Atta pun tertuju pada Annur. Dia merasa bersalah, karena tahu Annur 'mungkin' sudah punya pemilik hati. Pandanganya tertuju pada sang putra yang sedang tertawa, Atta. Ummi merasa ucapan Atta bukanlah sebuah candaan belaka. Atau memang ada benarnya? Kalau iya, mereka tidak boleh memaksa Annur menikah dengan orang yang tidak dia setujui.
"Dia ingin kesini. Ketemu kamu dan orang tuamu."

Tak terasa, bulir bening jatuh ke buku terakhir milik murid yang sedang Annur pegang. Kertas-kertas itu basah akibat tetesan demi tetesan beradu disana. Sebelum semakin menjadi, Annur menutup buku kasar dan membawa setumpukan buku tulis itu ke kamar. Tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia hanya, tak bisa menerima itu semua.

"Ta, ummi mau bicara."

-WFTW-

Apakah Annur tak pantas? Apakah, apakah, apakah. Begitu banyak apakah didalam otaknya. Apakah berharap pada orang yang kita sukai sebuah kesalahan? Mungkin Annur terlalu berlebihan menanggapi perasaannya. Dia sudah menemukan seorang tambatan hati. Sulit untuk melepaskan sesuatu yang sudah terkait dengan hatinya itu. Bolehkan, dia egois pada perasaannya?

Disatu sisi, Annur sudah menemukan seseorang yang pertama dia lihat, seperti sang abi. Disisi lain, cepat atau lambat, dia akan dipinang oleh seseorang. Kenapa sulit untuk mengatakan kepada orang tuanya, Annur suka orang itu. Kenapa rasanya seperti ada beban berat menimpa tubuhnya? Padahal hanya urusan cinta. Tapi itu jalan penentu surganya kelak. Ini soal dia yang akan menjalani hidupnya. Bukan orang tuanya.

Memang baru kenal beberapa minggu dengan adiknya Lanang itu, Gendis. Tapi Gendis pernah bilang, bapaknya sangat disiplin tentang ibadah. Bapaknya tidak main-main dengan ilmu. Makanya, Annur yakin, Lanang bukanlah orang yang buta agama. Mendengar juga dari Atta, Kula, temannya juga rajin ibadah. Annur tidak pernah bosan untuk mengatakan bahwa dia sudah 'yakin'. Ya, keluarga mereka memang tak terkenal dikalangan pesantren. Perlu diketahui juga, Abi juga bukan dari kalangan keluarga pesantren. Namun, bukan karena itu Annur memilih Lanang. Bukan tentang penilaian dari mata manusia. Annur tidak butuh itu. Pilihan hatinya adalah…..karena Allah.

"Maafkan aku Ya Allah, yang terlalu egois."

-WFTW-

"Annur suka sama orang lain. Kamu pasti tahu kan Ta? Siapa orangnya?" Atta terlihat kebingungan, bukan bingung karena tidak tahu siapa orangnya. Tapi, karena tidak tahu harus gimana ngomongnya. "Jujur dek," Ummi sudah menjurus ke 'serius'.

"Iya," Atta menjeda ucapannya. Menghela nafas panjang. "Sejujurnya, Atta nggak terlalu tahu perasaan mbak, mi. Atta cuma lihat dan ngrasain doang." Ummi mendengarkan penuturan Atta seksama. Menatap Atta lembut tapi tak hilang kesan tegasnya.

"Tadi, Atta lihat pipi mbak merah, apalagi pas si dia lagi ngomong. Kelihatan malunya." Ummi hampir saja tertawa saat Atta bilang 'si dia'. Seakan-akan sedang tebak-tebakan. Tapi, Ummi memang sedang mencoba menebak dalam hati. "Ummi pernah liat kok orangnya."

Dahi ummi mengkerut. Menerka-nerka, siapa yang pernah dia lihat. Kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir indah Atta, benar-benar seperti sebuah kejutan buat ummi.

"Masnya Gendis, mas Lanang."

-WFTW-

Mulmed bukan milik saya.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 20 Oktober 2018.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now