BAGIAN 9 - DOA DAN USAHA

134 27 18
                                    

Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela, hembusannya mengenai poni-poni lembut Atta. Sofa yang terletak sejajar dengan jendela itu menjadi lokasi favoritnya.

"Ngelamun aja,"

"Aku nggak ngelamun Mbak," Annur yang baru pulang ngajar langsung ikut duduk di sebelah Atta.

"Mikirin apa coba? Serius banget si?" Tanya Annur penasaran. "Mikirin Fatimah ya?" Godanya.

"Apaan sih Mbak, aku lagi mikirin Kula, dia aneh hari ini." Sikap Kula yang sangat tidak biasa. Diam saja, tak banyak reaksi, bicara pun seperlunya.

"Oh, kakaknya Gendis?" Atta mengangguk. "Ada masalah?"

"Kayaknya si, nggak tahu." Atta mengedikkan bahu.

"Nur, bulek mau ngomong sesuatu." Umminya Atta ikutan nimbrung. "Disini aja udah." Annur yang sudah setengah berdiri terpaksa duduk lagi.

"Bulek mau bicara apa?" Atta mendadak penasaran, dia membetulkan posisi duduk menjadi senyaman mungkin. Sepertinya serius.

"Ada yang suka sama kamu."

-WFTW-

"Masalah kayak gini, kenapa nggak bilang sama Bapak, sama Mamah, Mas?" Padahal Lanang yang sedang di interogasi. Tapi Gendis yang mau nangis. Setelah mendengar Mamasnya bercerita, Gendis mulai berpikir, dia kudu, harus kerja buat ganti uang Kula. Sudah paten, yakin dan mantap hatinya, titik. Tak usah minta sama Mamah. Gendis akan berusaha sekuat tenaga.

"Tadi pas aku kesana, ada beberapa ibu yang kenal sama aku. Tanya sama aku, kenapa anak-anak masih libur dan belum masuk? Aku nggak tahu mesti jawab apa." Curhat Panji, tadi siang dia memang ke bengkel. Cuma ingin mampir, namun yang dia lihat kondisi bengkel benar-benar mengejutkan.

"Maaf," lagi-lagi, kata itu yang bisa dilontarkan. Lanang bingung, pikirannya mendadak semrawut, tak keruan. Kalau ada jasa penggatian otak sekaligus kepala, mungkin dia bakal kesana.

"Uang Bapak belum cukup buat nambahin penggantian dana Mas," Lanang tahu, dia rikuh jika harus merepotkan, bikin susah orang tuanya seperti ini. Siapa sih yang mau? Lanang ingin sekali mengungkapkan tentang pembicaraan Lian padanya. Namun rasanya kurang tepat, suasana masih tegang dan panas. Dia akan menunggu sampai dingin kembali.

"Intinya, kita sudah tahu hal ini. Kita pikirkan jalan keluarnya sambil jalan. Mas, sholat ashar dulu. Istirahat biar bisa berpikir jernih." Beruntung, Lanang punya orang tua yang bisa diandalkan. Bisa menjadi cagak saat dindingnya hampir roboh sekaligus membangun pondasi baru yang lebih kuat. Gendis ikut bernafas lega. Dia belum beranjak dari tempat duduk, sampai Bapak nyuruh dia buat sholat juga.

Lanang memilih sholat sendiri di kamar, tadinya Gendis mau ikut. Tapi, dia paham situasinya. Bisalah berjama'ah nanti, pikirnya. Dalam ibadahnya, Lanang menangis sejadi-jadinya. Mungkin kejadian ini, karena dosa-dosa yang dia perbuat. Di atas sajadah, Lanang bersujud lama, meminta ampun pada Allah. Semoga dibukakan pintu keluar yang tepat untuk kebaikan semua. Tepat setelah selesai, Gendis masuk kamar Lanang setelah sebelumnya mengetuk pintu. Adik bungsu Lanang itu membawakan segelas susu.

"Buat Mas," Gendis mengulurkan obat penenang ala Panji itu.

"Makasih adek," suara Lanang serak, khas seperti orang baru saja nangis. Dia masih sesenggukkan tapi tak kentara. Gendis tak mau banyak tanya, dia tahu Lanang habis nangis, terlihat dari hidung merah dan mata yang masih ngembong. Lanang meneguk susunya sampai kandas. Lalu dikembalikan itu gelas pada si pembawa.

"Semangat! Tenang aja, ada Allah." Kata-kata itu, bukan sekadar kalimat. Seperti spirit booster bagi Lanang. Ya, ada Allah.

-WFTW-

Malam ini, Gendis tak bisa tidur lagi. Teringat, selalu teringat Masnya yang masih ngambek. Gendis mutusin buat turun, niatnya mau nonton tv. Tapi, saat melewati kamar Lanang. Dia dengar suara orang ngobrol di dalam. Gendis melanjutkan langkahnya. Rasa penasaran buat dia balik lagi. Menguping? Oh no. Ingin sekali masuk ke sana. Ah! Sudahlah, mungkin Lanang lagi telepon.

"Dijual?" Mamah terkejut atas pernyataan Lanang.

"Itu lahan masih sewa Mah, bentar lagi jatuh tempo pembayaran lagi. Aku belum dapetin dana sedikitpun." Ujar Lanang, helaan nafasnya terdengar sangat berat. Mamah kepikiran, itu membuatnya tak tenang. Jadilah dia ada di kamar Lanang sekarang. Membicarakan masalah ini. "Buat ganti uang anak-anak juga belum ada."

Lanang benar-benar terlihat frustasi. Doa selalu terpanjat, tapi kalau usaha tak ada, apa gunanya? Dia mengacak rambutnya kesal sampai mencuat kesana-sini. Mamah cuma bisa melihat melas pada putra sulungnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

"Memangnya sudah ada yang menawar?"

-WFTW-

"Belum?"

"Iya, belum pulang Nur."

"Bulek, tolong bilang sama dia. Aku nggak mau, kita perlu ta'aruf secara langsung."

"Nggak bisa Nur, dia belum habis kontrak kerja disana." Atta mulai tidak enak sendiri dengan pembicaraan Ummi dan Mbaknya itu. Urusan yang sensitif, tapi bisa jadi pelajaran buat Atta.

"Terus dia minta berkomunikasi lewat ini?" Annur mengangkat ponsel yang digenggamnya. "Bener-bener nggak ada perjuangan. Aku nggak mau, Bulek. Atau bilang aja, aku sudah menyukai orang lain. Dia akan segera mengkhitbahku." Annur benar-benar kesal. Menyukai orang lain? Ya, dia suka pada orang lain itu. Anggap saja kalimat yang dilontarkan itu adalah doa. Dia masuk kamar dan mengunci pintunya. Berlabel ta'aruf katanya? Tapi dengan acara chatting lebih dulu. Sama saja itu namanya, cuma modus. Bukannya dia bisa usaha? Meskipun dia anaknya teman dari Abinya Atta. Bukan berarti dia bisa terkoneksi dengan mudah. Annur tak punya kriteria khusus. Harus terpandang atau anak orang kaya? Tidak, itu bukan syarat utama. Annur hanya ingin lelaki yang bisa membimbing menuju surganya Allah kelak. Walaupun dia harus hidup sederhana. Tak apa. Dia tidak menikah dengan harta. Pria seperti itu kadang tidak serius, hanya sebagai perbandingan antara gadis satu dan lainnya. Annur tahu, karena sudah pernah merasakannya.

-WFTW-

"Lan, Ibu-ibu demo!"

-WFTW-

Terima kasih sudah membaca,


Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 01 September 2018.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now