BAGIAN 15 - PENGAKUAN

140 26 50
                                    

"Mas,"

Kula menatap Gendis sangar. Mata elangnya tepat pada dua iris black pearl milik Gendis. Okay, sepertinya Gendis sudah ketangkap basah dihari ketiga kerjanya ini. Dia tak bisa mengelak lagi.

Tangan Gendis ditarik paksa Kula. Tak peduli disana ada Atta dan mbak kasir. Genggaman Kula sungguh kuat, rasa pedas benar-benar terasa di kulit pergelangan tangan Gendis. Dalam hati, dia juga merutuki dirinya sendiri. Masalahnya juga dia tak bisa jujur saat itu. Waduh! Gawat! Bakalan perang saudara nih. Gendis ingin menenggelamkan diri ke rawa-rawa saat ini juga.

Lorong pemisah bangunan antara minimarket dengan kedai cokelat disebelahnya, dengan lebar satu meter, menjadi tempat Kula membawa Gendis. Warna muka Kula sudah sangat merah, menahan emosi.

"Adek ngapain coba?" ringisan kecil muncul dari wajah Gendis. Mungkin tak kerasa, Kula mengeratkan pegangannya.

"Cari uang." Jawab Gendis sekenanya. Otaknya tumpul sekarang. Dia cuma bisa menjawab seadanya, yang penting dijawab. Masa bodo. Hasil, pikir keri.

"Buat apa?" dingin, datar, mencekam. Kula terlihat seperti malaikat pencabut nyawa dalam bayangan Gendis.

"Gantiin uang mas." Kula merasa jiwanya ambrol. Masalah itu lagi, Kula sudah bilang tidak perlu diganti. Tapi nyatanya? Gendis malah cari duit. Pakai acara bohong segala lagi.

"Mas kan udah bilang, adek bego ya? Apa adek nggak denger yang mas bilang?" mati-matian Kula menahan emosi yang bisa saja menjebol benteng pertahanannya. Tangan kirinya mengepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.

"Adek cuma mau ganti, apa salahnya?" likuid bening terjun bebas di pipi Gendis. Dia berani menatap Kula sekarang, setelah terus saja menunduk. "Ini kemauan adek sendiri."

"Lepasin tangan lo, lo nyakitin Gendis. Bukan gue mau ikut campur, tapi dia perempuan." Kula yang disadarkan Atta dengan ucapannya, seketika melepaskan jemarinya perlahan. Atta tidak menggubris apa yang Kula lakuin pada Gendis. Itu haknya, karena dia kakaknya. Cuma dia tidak tega dengan Gendis yang mengerutkan dahi, menahan sakit. Memang tadi dia melihat Kula menyeret adiknya tanpa perasaan. Atta takut kalau sahabatnya itu lepas kendali. Who knows?

Tangan Gendis yang habis digenggam kuat sama Kula masih kesemutan. Tercetak merah telapak tangan dan jari-jari Kula disana. Bisa bayangkan bagaimana kuatnya.

"Maaf," sesal Kula, bersamaan dengan itu emosinya menguap begitu saja. "Buat itu," Atta pengin sekali ketawa. Pertengkaran kakak adik yang aneh bin lucu. Yah, mirip dia lah kalau sama a'anya. Atta menepuk pundak Kula dan menyingkir dari sana. Meninggalkan Kula dan Gendis menyelesaikan masalah mereka.

"Dek, mas tuh cuma kesel. Mas udah nggak marah sama adek." Gendis yang sibuk mengelap air asin yang masih bersarang di pipi gembilnya itu, menatap kakaknya. "Mas cuma, cuma nggak mau adek terluka. Udah itu aja. Plis! Adek yang nurut."

Gendis terpekur mendengar pernyataan Kula. Dia juga tak tahu mau ngomong apa. "Cukup buat mas cemas. Sekarang, terserah adek. Mau lanjutin apa berenti. Pikirin baik-baik." Kula menatap Gendis dalam. "Maaf, udah kasar sama adek."

Tak ada jawaban dari Gendis, mulutnya mendadak bisu. "Mas minta satu hal sama adek. Jangan bohong lagi. Mas pulang."

Gendis lebih berselera menatap sepatu ketsnya. Dia masih berdiri mematung di tempat tadi. Lalu berjalan pelan menuju toko dan akhirnya masuk kesana lagi.

Otaknya berpikir keras, memilih satu diantara dua pilihan. Bertahan atau berhenti.

-WFTW-

"Hai, Panji, dibeli dong dagangannya." Hanum menyapa, entah dari mana munculnya. Panji sedang berada di stand makanan ringan, keripik, kukis. Padahal dia bareng Azka, kenapa yang disapa cuma Panji.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now