BAGIAN 11 - JALAN KELUAR

132 28 19
                                    

"Mohon tenang bu-ibu, ini semua bisa dibicarakan!" Teriak Lian. "Kita bisa bermusyawarah mufakat." Setelah ucapan Lian, ibu-ibu itu mulai tenang.

"Mas, kami memang orang miskin, orang nggak punya. Tapi janganlah menipu kami." Tutur seorang ibu, mereka sebagai wali murid anak-anak bengkel.

"Kami tahu. Tapi kami tidak menipu ibu-ibu semua. Kami terkena musibah bu." Jelas Lanang sebisa mungkin. Karena memang begitu adanya.

"Alah, nggak usah berkilah Mas." Saut salah satu ibu. "Kalian pasti bersekongkol kan? Trus bagi hasil masing-masing."

"Astaghfirulloh," Lian dan Lanang saling pandang. Bagaimana si ibu bisa berfikiran negatif seperti itu?

"Kami sudah mencari uang dari hasil mulung dan yang lain, tapi uang dari sini lebih bisa jadi prioritas utama kami. Kami sangat terbantu dengan adanya bengkel seni. Tolong Mas, kalian sendiri yang bilang, sepenuhnya uang itu adalah hak kami." Rasanya ingin ikut nangis melihat mereka juga menitikkan air mata. Memang dari awal, sesuai kesepakatan semua itu milik anak-anak mereka.

"Kami sedang cari jalan keluar bu, mohon sabar. Doakan kami." Lanang kembali angkat suara. Berkali-kali dia menghela nafas panjang.

Setelah melalui rundingan yang cukup lama, akhirnya semua ibu bergerak meninggalkan bengkel. Kini Lanang dan Lian tinggal mencari solusi yang belum ketemu ujungnya.

-WFTW-

Lanang bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Tapi demi kebaikan semua orang disekelilingnya. Dia ambil keputusan yang mengejutkan. Tadi malam dia sudah bicara dengan Mamah, Bapak juga sudah diberi tahu. Sampai-sampai dia sholat istikharah guna meyakinkan diri. Bahwa jalan itu, adalah jalan terbaik. Kini dia sama Lian, sedang berada di kantor Paman Ben, Paman dari Lian.

"Lo yakin?" Lian bertanya sekali lagi.

"Iya, demi anak-anak. Gue nggak mau mimpi mereka putus gitu aja di tengah jalan karena gue nggak nglakuin apa-apa, Li."

"Gue paham, tapi lo korbanin semua disini." Lian tak tahu mau bicara apa lagi sekarang.

"Berkorban bukan berarti kehilangan, kan? Gue masih bisa ngajar mereka. Paman Ben bisa nolong kita. Harapan gue satu-satunya." Lian salut dengan tekad dan semangat Lanang. Ini bukanlah tentang menyerah, tapi bagaimana kita tidak kehilangan arah. Jalan keluar sudah terlihat pintunya, tinggal digapai dan dibuka. Bukan dia putus asa. Sepertinya sudah cukup sampai disini saja.

"Gue nggak mau terpaku sama satu jalan Li, kalo gue nggak bisa lakuin yang satu. Gue harus coba yang lain. Nggak semua bisa kita miliki Li, kadang ngelepasin adalah jalan satu-satunya." Lanang masih ingat buku yang pernah dia baca saat tak bisa tidur waktu itu. Ada benarnya. Solusi tak cuma satu. Mungkin menurut kita tak baik, tapi Allah menunjukkan cara yang berbeda. Yang kita rencanakan belum tentu baik dimata Allah. Pernah terpikir untuk pinjam. Tapi mana ada jaman sekarang pinjam tanpa bunga? Begitu baiknya Allah menuntun kita yang hampir tersesat. Allah sebaik-baiknya perencana.

"Gue cuma nggak mau ngorbanin lebih banyak lagi, Li. Cukup gue aja." Lian benar-benar salut dengan Lanang. Sebut saja dia true fighter, kalau Lian. Mungkin sudah tepar ditengah jalan. Walau Lanang lebih banyak nerima sakit, dia tetap bangkit.

Mengingat saat itu memang seperti tak ada akhirnya. Setelah bertemu Paman Ben, Lanang dan Lian pergi ke kantor polisi buat mencabut tuntutan. Pak Polisi saja heran dengan jawaban Lanang.

"Ikhlaskan saja Pak, mungkin bukan rejeki kami. Semoga dia diberi hidayah buat bertaubat." Cuma begitu, ya, memang Lanang sudah rela, bukan karena sok kaya. Atau sok sholeh. Tapi hanya dengan begitu, dia bisa memaafkan Seto dan dirinya sendiri.

"Trus apa lo mau kerja?" Lian tahu, jumlah gaji relawan sifatnya cuma sukarela. Mereka yang disana juga punya pekerjaan tetap. Menjadi relawan hanya sampingan saja. Lian sendiri juga kerja disebuah perusahaan.

"Belum tahu Li, gue masih bingung. Buat sementara, gue ngajar aja dulu. Nyambi cari kerja." Maunya Lanang sih usaha. Tapi modalnya harus besar. Tak perlu muluk-muluk. Usaha kecil-kecilan dulu. Cuma belum ada ide.

"Allah pasti ganti dengan yang lain."

-WFTW-

"Terima kasih, atas kerja samanya."

"Sama-sama Pak,"

Si pemilik tanah dan Paman Ben sudah menandatangani surat kontrak jual-beli. Artinya, bangunan dan tanah ini sudah sepenuhnya milik Paman Ben. Paman Ben juga mau mengganti uang yang sudah dicuri, ya, syarat yang diberikan untuk Lanang, adalah Paman Ben akan membeli tanah serta bangunannya. Apalagi, si pemilik memang sedang butuh uang. Tak ragu dia menjual tanahnya. Alhamdulillah, semua berjalan lancar.

Rencananya, Paman Ben akan mengembangkan lagi bengkel seni. Menambah fasilitas dan guru relawan. Mulai sekarang, Lanang tak lagi bertanggung jawab atas semua urusan bengkel. Dia hanya akan menjadi guru relawan disana. Tapi, dia tetap bersyukur sebagaimana keadaannya.

-WFTW-

Terima kasih sudah membaca,
Mulmed bukan punya saya,

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 08 September 2018.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now