BAGIAN 23 - JALAN BERTIGA

141 27 16
                                    

Jam pelajaran sudah berakhir seratus dua puluh menit yang lalu. Tapi, Gendis masih menyibukkan diri di perpus sekolah. Entah membaca novel, atau apapun itu. Sambil memainkan bolpoint ditangan kanannya. Gendis, memandang taman di luar sana, lewat jendela kaca. Taman tempat dia dan Nunu berpelukan sambil nangis. Gendis kangen. Nunu sibuk, dia juga ngajar les disana. Hitung-hitung nambah penghasilan katanya. Jadi sudah jarang telponan.

'Gluduk!'

Fokus Gendis teralih pada si pembuat keributan. Atta, lagi sibuk beresin buku-buku yang jatuh dari rak. Tangannya dengan cekatan merapikan kembali ke sana. Gendis masih diam, memperhatikan. Belum ada niatan menegur. Tapi melihat Atta kebingungan, dari gestur tubuhnya yang mencari-cari sesuatu. Namun belum ketemu.

"Lo nyari apa?" Gendis langsung menunduk kala Atta menghadap dirinya. Dia masih malu. Hingga pipinya memerah.

"Nyari biografi putri dan istri Nabi." Jelasnya.

Seperti paham, Gendis kemudian mengangkat satu persatu tumpukkan buku di depannya. "Ini," Gendis memang habis merampungkan bacaan itu. Atta menerimanya dan segera mengucapkan terima kasih. Lalu beringsut pergi.

"Atta," panggilan Gendis membuat langkah Atta berhenti. "Boleh nggak gue minta waktu lo bentar. Sepuluh, ah, nggak, lima menit." Sepertinya, Atta setuju. Dia hendak berbalik namun Gendis tahan, agar Atta tetap berdiri disana. Dengan keadaan memunggunginya.

"Gue mau ngakuin sesuatu sama lo. Rasanya nggak enak dipendem terus. Gue tahu, setelah ini mungkin, bakalan ada yang berubah. Tapi, gue nggak mau kayak gini terus. Dengan gue nggak bilang, itu nyiksa batin gue." Atta masih diam ditempat. Tatapannya lurus, mendengarkan seksama kalimat demi kalimat yang Gendis lontarkan. Instingnya mengatakan, Gendis akan ngungkapin perasaanya.

"Oke, gue bisa. Bismillah, semua akan baik-baik aja." batin Gendis, memantapkan diri, menggali kekuatan dalam dirinya. Sebenarnya, Gendis super malu saat ini. Semua demi kebaikkan hatinya sendiri.

"Gue suka sama lo." Exact, benar tebakan Atta. "Gue tahu, nggak pantes ngomongin ini. Gue pengin lega, gue pengin bebas dari perasaan ini." Gendis bercita-cita seperti Siti Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Mencintai dalam diam, namun mereka berjodoh. Mungkin keadaan memang mempertemukan, bukan mempersatukan. Dekat bukan berarti terikat. Pada akhirnya, Gendis mendapatkan pelajaran menuju kedewasaan. Tak perlu menuruti ego, belajar ikhlas. Belajar melepaskan apa yang memang dari awal bukan miliknya. Alon-alon, asal kelakon. Atta memang yang Gendis inginkan, tapi bukan dia yang Gendis butuhkan. Tuhan tidak akan membiarkan dia berada dalam perasaan yang sama bukan? "akhirnya, gue lega bisa bilang secara langsung sama lo Ta, makasih, udah mau dengerin gue."

Atta kehabisan kata-kata. Tak bisa menanggapi ucapan Gendis barusan. Berani, satu kata yang bisa Atta pikirkan di otaknya. Dia tidak menyangka, bahwa Gendis bakal seberani itu. Dan tahu juga dari cerita mbaknya, Annur. Dia juga habis ngungkapin persaannya, lewat Gendis. Benar cewek-cewek keren, menurutnya. Cewek berhak kok, mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Tak ada yang salah dari itu.

"Gue bener-bener hargai perasaan lo, Ndis. Gue hormati lo sebagai wanita. Pasti nggak mudah bagi lo," memanglah tak mudah bagi Gendis dan bagi Atta sendiri. "Pun gue, itu sifat alami kok Ndis. Nggak ada yang tahu, besok, lusa, atau bertahun-tahun kemudian, siapa yang bakal jadi jodoh kita. Yang kita harus lakukan cuma persiapin diri, akan ada takdir tak terduga dan menakjubkan menghampiri kita semua."

"Sekali lagi, makasih." Gendis menatap punggung Atta. Masih ada setitik kekaguman Gendis pada Atta. Reaksi Gendis pun, tak disangka. Dia tersenyum, seakan beban dipundaknya luruh entah kemana. Berbeda dari tampangnya tadi malam, saat Lanang membeberkan rencana lamarannya pada semua penghuni rumah. Gendis lebih ceria. Akhirnya, dia bebas dari ganjalan perasaan yang begitu melelahkan. Belenggu rasa yang seakan mencekiknya. Yah, walaupun memang sudah terjawab juga semua dari awal.

-WFTW-

"Dek,"

"Hmm," jawab Gendis tanpa menoleh ke kursi setir. Trotoar jalan kelihatan lebih menarik bagi Gendis sepertinya. Gendis menyenderkan kepalanya pada kaca jendela mobil dan menatap jalur pedestrian itu, sepanjang jalan. Kebetulan, bapak pulang awal, dan menjemput Kula dan Gendis.

"Makan seblak yuk?" ajak bapak. Mendengar kata seblak, Kula yang duduk di jok tengah, seketika merespon, karena memang jarang sekali bisa jajan diluar.

"Cus!" seru Kula. Tanpa persetujuan Gendis, bapak segera mengarahkan mobilnya menuju alun-alun kota. Makan seblak di tempat yang memang sudah terkenal enak. Dan selalu ramai, walau cuma modal gerobak. Mereka memesan tiga porsi dan duduk, menunggu di tempat duduk permanen yang mengelilingi sebuah pohon di tengahnya.

Setelah menunggu cukup lama, karena antrian yang lumayan. Akhirnya mereka bisa menyantap seblak kuah dengan isian cireng, bakso, jamur, siomay, mi kuning dengan bumbu pedas bagi bapak dan Kula, terkecuali Gendis. Miliknya berbumbu pedas yang sedang. Untung sore itu masih ada penjual es kuwut, jadi mereka sekalian pesan. Juga untuk dibawa pulang, buat mamah, Lanang dan Panji. Biar tidak ada perang dunia ketiga.

Mereka begitu menikmati quality time antara bapak dan anak. Jarang-jarang, bapak pergi, cuma bertiga, macam itu. Kadang sama mamah, tapi, pasti tak boleh makan seblak pinggir jalan seperti ini.

"Kepedesan dek?" ledek Kula saat melihat bibir dan muka Gendis yang merah. Jangan lupakan hidungnya yang meler. Gendis cuma mengibas-ibas telapak tangannya di depan muka. Biar rasa pedasnya berkurang, tapi tak ada efeknya sama sekali. Kula tahu, tadi Gendis habis nyatain perasaanya di perpus. Karena dia disana, guna menyusul Atta yang kelamaan. Padahal sudah ditunggu pak Ahmad, guru pembimbing rohis. Tapi, Kula bersembunyi karena mendadak Atta sedang berbincang dengan adeknya itu. Kula juga lega. Gendis tak patah hati berlebihan, dia kelihatan sudah rela, ikhlas lahir batin.

"Cobain punya bapak, nih dek." Ini lagi, bapak ikut-ikutan ngeledek.

"Bapak ih! Punya kalian itu pedesnya setan." Bapak dan Kula ketawa lepas. Padahal tak ada yang lucu. Tapi bagi dua pria itu, ekspresi Gendis yang mau nangis karena kepedasan itulah yang mereka anggap lucu. Yang tadinya Gendis tak tertawa, jadi ikutan, sepertinya virusnya juga nular ke Gendis. Tapi, acara jalan dadakan mereka bertiga patut Gendis syukuri. Karena masih bisa saling berinteraksi satu sama lain walau tak selalu bisa. Boleh saja dia kehilangan orang yang dia suka. Tapi, dia masih punya orang selalu dia sayang, masih berada di sekelilingnya.

-WFTW-

"Dari mana kalian?"

Bapak, Kula dan Gendis saling beradu pandang, saat mamah sudah berada di depan mereka bersidekap tangan. Oow, bakalan kena sidang, nih.

-WFTW-

"Pakde akan bilang sama Abi kamu, dia sudah sampai di rumah. Lagi kesini. Untuk masalah Danu, kamu bilang sendiri sama dia. Nanti malam dia mau ketemu kamu. Mau ta'aruf dulu."

"Keputusan ada padamu. Kami tidak memaksa."

"Umi, Abi."

-WFTW-

Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 29 Oktober 2018.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now