BAGIAN 36 - FILOSOFI KAKTUS

219 23 17
                                    

Kesekian kalinya, Gendis masuk rs lagi, karena drop. Akhir-akhir ini, dirinya dilanda stress. Ya, karena masalah waktu itu, menjadi panjang. Apalagi, Gendis tak mau bicara.

"Maafin aku," Gendis masih menunduk, dia tak berani mengangkat kepalanya. Gadis itu, lagi-lagi tak bisa lagi menahan tangisnya, bahunya bergetar. Tapi sedetik kemudian, terasa begitu hangat pelukan dari Lanang. Menenggelamkan wajah Gendis didadanya. Dia orang yang posisinya dekat dengan Gendis, duduk di ranjang, jadilah, dengan cepat Lanang menenangkan adiknya itu. Setelah mendapat kabar Gendis tumbang lagi, Lanang bergegas menuju rumah sakit.

"Udah, ih, jangan mewek." Gendis tidak membalas pelukan Lanang. Dia hanya meremas ujung kaos polo yang dipakai Lanang. "Cep, cep."

"Maaf adek egois, adek lupa, kalau nggak ada kalian, siapa yang nolong adek? Siapa yang bakal jagain adek." Dari sana juga, Gendis akhirnya mengeluarkan semua yang dia pendam, sebenarnya sudah beberapa bulan ini. Gendis memang melakukan semua hal yang diperintahkan. Dia menuruti semuanya, tapi dengan perasaan yang tidak senang. Gendis tidak punya wadah untuk bercerita, tentang itu. Ya, semua sayang padanya, dia tahu. Tapi, tidak dengan mengekangnya juga. Harus ini, harus itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Setidaknya, memberi Gendis kesempatan untuk hidup normal, selagi mampu, itu membuatnya lebih merasa dihargai.

Semua sepakat, setelah diskusi dan negosiasi, untuk membiarkan Gendis beraktifitas normal lagi. Tak akan ada kekang mengekang. Memberikan kebebasan buat Gendis, tapi kebebasan yang bertanggung jawab. Mereka akan lebih banyak mendengarkan dan menerima 'emosi' Gendis. Maka dari itu, Gendis bisa menikmati setiap detik waktunya. Tidak akan ada yang tahu bagaimana cara Gendis berpikir, cara Gendis merasa. Yang tahu hanya yang bersangkutan, Gendis sendiri.

-WFTW-

Printout foto hasil USG bayi yang Annur kandung adalah hal termenakjubkan bagi Gendis. Baginya tak ada hal yang lebih indah selain bayi di dalam perut. Gendis menatap bungah foto itu. Katanya, sih, berjenis kelamin perempuan. Perut yang kecil bisa membesar berkali-kali lipat. Dan didalamnya ada kehidupan. Maha Besar Allah. Gendis jadi rindu masa kecilnya.

"Mbak, ke florist yuk?"

"Ngapain?"

"Beli besi."

"Adek!" Gendis cuma manyun, setelah mendapat teguran dari Lanang. Hari ini, Gendis lagi main di rumah mamasnya satu itu. Sepulang sekolah, Lanang menjemput, jadi sekalian, mampir. Alhamdulillah, Lanang sudah bisa beli mobil, ya meskipun second. Tapi mesinnya masih bagus.

"Adek mau beli apa, emangnya? Jangan capek-capek, adek baru keluar dari rs." Dua hari yang lalu, Gendis bisa rilis dari rs. Dia sudah kembali masuk sekolah, setelah perawatan intensif selama satu minggu.

"Ada deh, makanya kesana. Ayo! Plis!" Gendis memohon dengan melasnya. Annur menoleh pada Lanang disampingnya, yang lagi ngopi.

"Iya, ayo."

"Makasih mamas!" pekik Gendis girang.

Hampir satu jam, Lanang dan Annur muter-muter di tempat penuh bunga-bunga, dari yang kecil sampai besar, tanaman hias, bunga untuk buket, sampai bakal calon pohon yang juga digunakan untuk menambah estetika keindahan. Gendis juga sibuk, memilih apa-apa yang mau dibelinya.

"Mas, mbak, ayo pulang!" Lanang dan Annur seketika melongo. Akibat, Gendis yang membawa dua kardus mi instan. Dibelakangnya, ada bapak bapak membawa angkong, berisi tiga polybag pohon pucuk merah kecil.

"Adek beli apa aja, sih?" tanya Lanang, penasaran.

"Ada deh. Tapi ke rumah mas. Nanem ini." Angkat Gendis, kardus di tangan kanannya.

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now