BAGIAN 16 - SIAP 86

134 30 40
                                    

Hanya menunduk dan terus menunduk. Gendis yang lagi disidang satu keluarga, terkecuali Lanang yang memang belum pulang dari rumah nenek, cuma bisa bilang maaf.

"Bapak kecewa dek," bapak menjeda, kemudian mengambil nafas panjang dan melanjutkan. "Bapak hukum adek." Mamah terlihat terkejut, tapi mau gimana lagi. Sudah keputusan bapak. "Mulai sekarang, adek nggak boleh kemana-mana, di sekolah mas harus awasi adek." Kula menunjuk diri sendiri. Tak percaya ditunjuk sebagai bodyguard? "Dua puluh empat jam. Kalau mau pergi harus ijin sama mamah, bapak atau sama mas. Harus jelas kemananya, sama siapa, kalau sekali lagi bohong. Bapak bakalan kasih hukuman yang jauh lebih berat."

-WFTW-

"Apa bapak nggak keterlaluan?"

"Nggak mah, sekali-kali adek itu ditegasi. Jangan dimanjain melulu."

"Bapak ih, kasian anak mamah." Bapak menatap tajam mamah. Kelakuan bapak membuat nyali mamah menciut. Rasanya tak tega melihat anaknya dihukum, walau sama bapaknya sendiri. Naluri seorang ibu ya begitu.

-WFTW-

Panji meletakkan tas gendongnya pada nakas di kamarnya. Habis jemput Gendis di toko. Panji langsung bawa pulang itu bocah. Niatnya juga pengin ngomel. Tapi, seketika tidak minat ngoceh saat lihat wajah adiknya yang kelihatan lusuh. Tanpa ditanya, Gendis bilang sendiri. Dia baru saja berhenti kerja. Syukurlah. Setelah sebelumnya Panji suruh nunggu, mau pamitan dulu sama ibu pemilik. Ibu pemilik juga tak marah, karena memang sudah sejak awal ibu pemilik tidak mau mempekerjakan anak dibawah umur. Cuma terpaksa karena Gendis yang terlihat sangat butuh uang.

Hampir lupa, pemberian Azka belum dia kasih ke Gendis dan punya Kula sudah diberikan tadi. Kula protes, katanya mau yang kakinya mickey. Setelah dijelasin baik-baik, akhirnya dia mau yang stitch, tokoh alien di film animasi Lilo and Stitch itu. Langsung saja, Panji menuju ke kamar lotengnya Gendis.

"Dek!" Gendis yang lagi tiduran di kasur, beringsut bangun. Akhir-akhir ini Panji jarang lihat Gendis senyum. Siapa yang tidak ikut sedih jika melihat adiknya selalu cemberut.

Kasur sedikit membal ketika Panji ikut duduk disana. Panji mengulungkan sebuah kotak. "Buat adek," tanpa ragu Gendis menyambar dan membukanya. Matanya berbinar ketika melihat apa yang ada disana.

"Suka?"

Gendis mengangguk, "makasih, lucu." Akhirnya senyum kotaknya mengembang lagi. Gendis langsung memasangnya di ponsel.

"Itu dari Azka." Gendis memandang Panji yang sedang membelai pelan kepalanya, dia kira dari masnya satu itu. Tidak kecewa, tapi dalam rangka apa mas Kaka ngasih itu ke dia. "Kenapa?"

"Nggak papa, bilangin ya. Makasih."

"Bilang sendiri,"

"Ih, mas."

"Ah," Panji merebahkan punggungnya di kasur. Entah kenapa, kalimat ancaman Hanum terngiang di telingannya. Semoga tak terjadi apa-apa. Panji mengusir pikiran jeleknya dengan menutup mata.

"Mas kenapa?" Gendis merasa ada yang aneh dengan Panji. Seperti ada hal yang buruk. Muka Panji tak beda jauh sama Gendis saat tadi ketemu di toko.

"Nggak papa," jawab Panji masih terpejam. "Dek!"

"Ya,"

"Pernah nggak ditembak cowok?" kan, aneh? Kenapa tiba-tiba kasih pertanyaan model begitu coba?

"Belum pernah lah mas."

"Eh, iya juga ya? Siapa juga yang naksir adek."

Gendis berdecih, "emangnya mas pernah nembak cewek? Nggak kan?"

We Find The Way ✔Where stories live. Discover now