BAGIAN 4 - TUGAS KELOMPOK

232 34 8
                                    

Kaki-kaki itu berlari sekuat tenaga menuju gerbang yang hampir tertutup. Detik berikutnya, si kembar Kula dan Gendis tertahan di depan pintu keramat sekolahan itu. Pak Tatang, si guru penjaskes bertubuh gempal, botak di tengah dan berkumis tebal itu sudah mendelik ke arah mereka berdua.

“Oh, ayolah Pak,” rayu Gendis.

“Kalian ini, ck ck ck. Kenapa terlambat?” Tanya Pak Tatang datar namun tak meninggalkan kesan tegasnya.

“Nggak bisa bangun pagi Pak,” aku Kula jujur. Gendis cuma bisa melirik tajam. Kenapa harus sejujur itu?

“Oke, masuk.” Gendis menganga, semudah itukah meluluhkan hati Pak Tatang? Gendis tersenyum mengingat Kula yang sudah jujur. Pak Tatang membuka gerbang yang sudah beliau gembok. Tanpa nunggu, Kula dan Gendis segera ngeluyur masuk melewati Pak Tatang yang terus saja memperhatikan keduanya.

“Mau kemana? Ikut Bapak yuk?” Pak Tatang berjalan lebih dulu. Suka tidak suka, Kula dan Gendis mengekori di belakang. Gendis menarik kalimat bahwa meluluhkan hati Pak Tatang itu mudah. Mereka tiba disebuah ruangan atau mungkin ruang latihan dance? Karena dindingnya penuh dengan cermin.

“Kalian telat diwaktu yang tepat,” baru kali ini Gendis dan Kula mendengar telatnya siswa di syukuri, di waktu yang tepat katanya. “ Soalnya lagi butuh tukang bersih-bersih. Jadi bersihkan ruangan ini sampai bersih-sih-sih, oke? Sip!” Ternyata, ada udang dibalik bakwan eh batu, bilang saja hukuman. Setelah memerintah Pak Tatang pergi dari sana dan duduk di pagar tralis luar ruangan meninggalkan Gendis dan Kula di dalam.

“Gara-gara lo dek,”

“Kok adek, Mas kan biangnya telat,” Kula menatap sangar Gendis yang membuat adiknya itu menunduk dan menggigit bibir. Tak lama, Kula mengacak rambut Gendis gemas, tak lupa Kula keluarkan tawa nakalnya dan berlalu mengambil sapu dan sulak yang sudah disediakan, sepertinya memang sudah menunggu mereka.

“Udah, ayok.”

Gendis meniup poni ikalnya, ingin sekali menabok kepala Kula. Gendis tak suka tatapan Kula. Tatapan paling menyeramkan menurutnya, lebih menakutkan dari si Bapak. Karena, itulah jurus Kula. Tatapan elang untuk melumpuhkan Gendis.

-WFTW-

“Tugas kelompok?” Tanya Gendis sama Nunu setelah melaksanakan tugas sebagai cleaning service selama jam pelajaran pertama. Bukan pelajaran si, tapi ada kelas konseling sekali seminggu sesuai jadwal diseluruh kelas.

“Iya, temanya hubungan sosial dan kita harus interaksi secara langsung a.k.a praktek. Daaan tau nggak kita sekelompok sama siapa?” Nunu menaik turunkan kedua alisnya cepat. Menyuruh Gendis menebaknya.

“Ngomong aja langsung Nunu.” Ujar Gendis malas, capek habis bersih-bersih.

“Atta,” Nunu bicaranya bisik-bisik tapi masih didengar oleh Gendis. Hampir saja Gendis memekik girang kalau saja tidak dibekam tangannya sendiri. Tubuh yang tadi lelah jadi bugar seketika mendengar bahwa dia satu kelompok sama Atta.

“Eh, beneran? Serius?” Masih saja Gendis tak percaya begitu saja, jangan lupakan Gendis yang menggoncang badan Nunu.

“Iya, kita kelompok sisa soalnya. Kita udah mutusin kita ke pesantren.”

“Pesantren?”

-WFTW-

Ditempat penuh dengan coretan warna warni, dari gambar alam meliputi bunga, rumput, sungai, gunung sampai gambar abstrak inilah Lanang mendedikasikan tenaga, pikiran serta kasih sayangnya. Bengkel seni, tempatnya anak-anak jalanan dan kurang mampu, belajar membuat kerajinan tangan dari barang bekas dan keramik dari tanah liat. Bangunannya memanjang berbentuk L dengan pagar bergambar kreasi mereka.

We Find The Way ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang