5

660 28 0
                                    

Semenjak kejadian itu aku selalu menggenggam tangan Ara. Aku takut kalau-kalau Ara menghilang tiba-tiba. Setelah berjalan cukup jauh aku melewati makelar mobil. Tanpa berpikir panjang aku langsung membeli salah satu mobil yang terpajang di sana. Kendaraan telah kumiliki sekarang aku harus mencari tempat tinggal. Setelah berkeliling kota, aku baru tersadar bahwa negara yang kupijaki adalah Jerman. 

Untuk seorang pembunuh sepertiku berada di negara manapun tidak masalah. Namun bagaimana dengan Ara yang belum memiliki pasport. 

Setelah membeli sebuah rumah minimalis yang cukup luas untuk aku dan Ara tinggalli, sesegera mungkin aku mengurus surat akte dan lainnya untuk Ara. Setelah semua rampung, satu bulan kemudian aku mendaftarkan Ara di sebuah sekolah elit. Namun belum satu minggu berjalan, pihak sekolah telah memanggilku. 

"Pak sudah 3 hari ini Ara tidak masuk" ujar si kepala sekolah. 

Apa bagaimana mungkin Ara tidak masuk sementara aku sendiri yang mengantarnya? Tanyaku pada diri sendiri.

"Dia sedang sakit Frau, saya lupa memberitahu pihak sekolah" jawabku berbohong. 

"Oh baik pak kami akan segera memberi tahu wali kelasnya" ujarnya. 

"Danke Frau" ujarku sopan sambil berlalu. 

Setelah meninggalkan ruang kepala sekolah aku segera berkeliling mencari Ara. Tak lama kemudian aku melihatnya sedang duduk membaca komik di bawah jembatan kecil yang ada di halaman sekolahan. 

"Ara sayang kenapa kamu tidak masuk ke dalam kelas?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya. 

"Teman-teman selalu mengejek dan mengerjaiku" jawabnya. 

"Apa yang mereka katakan" tanyaku. 

"Mereka bilang aku tidak punya orang tua" jawabnya. 

"Siapa bilang Ara tidak punya orang tua, lihat ini Ara Wira Atmajaya" kataku sambil menunjuk papan nama  yang terbordir di baju Ara. 

"Itu artinya aku adalah orang tuamu jadi Ara tidak boleh sedih, oke! " ujarku kemudian. 

Ara hanya terdiam kemudian memelukku. 

"Ambil ini aku akan masuk kedalam kelas" ujar Ara kemudian berlarian menjauh.

"Apa yang barusan aku katakan" ujarku pada semesta sepeninggal Ara. 

Bagaimana mungkin aku mengatakan hal konyol di depan anak itu. Aku bukan Arian, ibu atau bapaknya. Sungguh bodoh, siapa aku berani mengatakan hal demikian. Lagi pula itu hanya sebuah nama. Batintunku namun rasanya hati ini bergetar dan gejolak dalam diriku terasa berbeda.

"Darimana Ara mendapat komik seperti ini sementara dia tidak pernah memintanya padaku" ujarku sambil membuka komik yang diberikan Ara padaku sebelum masuk ke dalam kelasnya. 

Anak itu sangat cerdas bisa membaca komik rumit seperti ini. Aku saja terkadang pusing harus membacanya dari atas ke bawah atau darisamping kebawah ataukah sebaliknya.

Lembar demi lembar komik itu telah kubaca dengan sedikit memeras otak. Tak terasa bel pulang sekolah telah berbunyi. 

Tak lama kemudian Ara menghampiriku. Kami pun segera pulang. Setibanya di rumah, aku langsung bertanya pada Ara. 

"Dari mana kamu mendapat komik ini" sambil menyerahkan kembali komik miliknya. 

"Seorang bibi cantik merikannya padaku saat aku menolongnya menunjukkan arah jalan" jelas Ara. 

"Oke cepat ganti baju kemudian makan" ujarku sambil menuju dapur untuk menyiapkan makanan. 

Semenjak hari itu aku semakin dekat dengan Ara. Dia mulai ceria kembali dan tentu saja rese seperti dulu. Meski begitu aku senang Ara tidak murung lagi. 

Aku mulai menyayangi dan menerima kehadirannya, bahkan aku merasa memiliki sebuah keluarga seperti dulu. Ara telah menutup lubang dalam hatiku. Setalah lama aku membiarkan nya kosong sepeninggal kedua orang tuaku.

5 bulan telah berlalu. Hari-hari damai yang telah kulalui bersama Ara kini berubah menjadi suram akibat wanita yang memberi Ara komik yang pernah aku baca beberapa bulan lalu. Ternyata wanita itu adalah orang suruhan bos besar untuk membunuhku. 

"Serahkan dirimu atau anak ini mati" ujar wanita itu sambil menodongkan sebuah pistol di kepala Ara. 

Aku mati kutu di buatnya. Sesaat kemudian aku telah babak belur di pukuli oleh kelima ajudan wanita itu. 

"Lepaskan ayahku, jangan pukuli dia" teriak Ara histeris sambil menggigit tangan wanita itu. 

Bukan main kagetnya aku mendengar kata "ayahku" terlontar dari mulutnya. Biasanya dia hanya memanggil namaku. Entah kenapa aku merasa senang mendengarnya. 

"Dasar anak bodoh! "hardik wanita itu sambil menampar Ara hingga tersungkur. 

Darahku langsung mendidih dibuatnya. 

Wira  (Complete)Where stories live. Discover now