Prolog

1.8K 50 4
                                    

Hari ini aku sangat senang kedua orang tuaku hadir dalam acara rama-tamah sekolah. Biasanya mereka selalu sibuk bekerja siang dan malam. Terakhir mereka menghadiri acara sekolahku saat kelas 3 SD.

Selesai acara mereka tidak langsung mengantarku pulang tapi kami mampir ke sebuah show room mobil. Hari itu mereka membeli sebuah mobil ferrari keluran terbaru atas namaku. Aku hanya merasa biasa-biasa saja yang membuatku bahagia adalah bisa berkumpul dengan mereka dan jalan bersama.

Tiga bulan telah berlalu setelah hari itu kini saatnya aku kembali menapaki bangku sekolah di tingkat yang lebih tinggi yakni SMP. Hari pertama mereka mengantarku ke sekolah yang tersohor dan elite. Saat memasuki gerbang semua mata tertuju padaku. Mungkin dalam benak mereka aku seorang anak culun yang beruntung terlahir di tengah keluarga yang super kaya. Itu wajar bagi mereka dengan penampilanku yang berkacamata bulat serta baju yang di masukan membuatku semakin culun. Tapi aku tidak peduli biarlah mereka berlaku sesukanya.

Saat memasuki ruang kelas setelah orang tuaku pulang. Tak satupun anak yang mau duduk sebangku denganku hingga seorang guru masuk dan menyuruhku duduk di bangku kosong dekat seorang anak cewek yang nampaknya dingin dan pendiam.

Hari pertamaku di sekolah cukup membosankan hingga jam istirahat. Setelah jam istirahat usai aku kembali ke dalam kelas saat guru menerangkan aku hendak menulis namun entah kemana seluruh bolpenku raib.

"Ini pakailah, tadi anak-anak membuang semua bolpenmu di tong sampah" ujar cewek yang duduk di sebelahku.

"Terima kasih" kataku sedikit berbisik.

Aku merasa senang untuk pertama kalinya ada yang berbicara padaku. Cewek di sebelahku cukup aneh saat pelajaran berlangsung ia hanya membaca komik kalau bukan menggambar toko-toko animasi.

Saat pulang sekolah aku terpaksa harus mengejar-ngejar bus sekolah karena ibuku tak bisa menjemput. Aku hampir menyerah berlari hingga seseorang mengulurkan tangan untuk. Setelah berhasil naik ke bus dengan nafas tersengal-senggal aku mengucapkan terima kasih dan ternyata orang yang menolongku adalah teman sebangku ku, cewek yang sama yang menolongku saat kehilangan bolpen.

Satu minggu sudah aku sekolah dan satu minggu itu pula aku harus berlarian mengejar bus sekolah meskipun penampilanku culun namun fisikku lebih kuat dari teman sebayaku. Tapi aku menikmati satu minggu itu meskipun harus berlarian untuk menerima uluran tangan Ariana. Yah namanya Ariana Dwira beda tipis lah dengan namaku Wira Atmajaya.

Meskipun demikian aku sudah kapok minggu kedua kuputuskan untuk membawa mobilku sendiri. Karena sekolah ku sekolah orang-orang kaya jadi para siswa di ijinkan membawa kendaraan.

Saat turun dari mobil semua mata tertuju padaku termasuk para guru. Suasana kelas pun berubah, mendadak semua teman-temanku menjadi akrab dan mengobrol banyak.

Namun Ariana semakin menjaga jarak aku merasa kehilangan teman baikku. Karena teman-teman baru yang hanya memandang harta bendaku. Sepulang sekolah aku mengajak Ariana pulang bareng awalnya di menolak hingga aku memaksanya masuk ke dalam mobil.

"Rumah kamu di mana? " tanyaku.

"Di perumahan taman sari" jawabnya.

Setelah tiba di perumahan ia memberiku selembar buku gambar kemudian masuk kedalam rumah yang paling mewah.

Saat tiba di rumah aku melihat buku gambar yang ia berikan di sana terdapat sebuah gambar animasi cewek cowok yang bergandengan tangan mereka terlihat tersenyum bahagia. Di belakangnya tertulis kalimat "aku berteman bukan karena harta pertemanan bagiku tulus, aku tidak ingin kecewa untuk pertemanan yang di ukur dari apa yang kita miliki".

Kata-itu menjelaskan semuanya mengapa ia mau berteman denganku saat mengejar bus dan menjauh setelah melihatku membawa mobil mewah. Aku beruntung bisa berteman dengannya.

Semakin hari pertemanan kami makin akrab aku menganggap di adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki ia bahkan sudah seperti adikku sendiri.

Hingga pada suatu hari orang tuanya pindah tugas ke Amerika semenjak hari itu aku putus kontak dengannya.

Satu bulan kemudian terjadi insiden mengerikan yang tidak dapat aku lupakan. Saat itu kedua orang tuaku di bunuh secara tragis oleh rekan bisnisnya sendiri. Mereka membuangku di tengah jalan dan mengambil seluruh surat-surat berharga milik orang tuaku.

Kini aku terlunta-lunta di jalanan tak ada tempat berteduh dan kerabat untuk berkeluh kesah. Kini aku telah sebatang kara. Derap langkah kecilku membawaku disebuah panti asuhan. Awalnya mereka begitu baik padaku namun ternyata hanya kedok seten belaka. Selama tinggi di sana aku di suruh mengemis setiap hari bersama anak-anak yang lain. Sialnya anak-anak yang lama selalu memukuliku dan mengambil seluruh uang hasil jerih payahku.

Setiap hari aku selalu berharap ruh dan ragaku sgera terpisah agar aku dapat menyusul kedua orang tuaku. Hingga pada saat keputus asaanku memuncak seorang pria paru baya mengadopsiku. Entah harus bersyukur atau tidak sebab aku merasa keluar dari mulut buaya kemudian di terkam oleh seekor singa.

Wira  (Complete)Where stories live. Discover now