18 - 4 : HARI KE-100 (END)

236 18 4
                                    

Sepuluh hari berlalu dengan sangat cepat. Energi manusia sudah sepenuhnya berpindah ke dalam permata, dan Seul harus memberikannya pada Na Wi. Maka hari ini dia berangkat dengan sedikit berat hati. Seul memandangi setiap ruangan: dia sering dipeluk Mi Ho di ruang keluarga, sering dimarahi Dae Woong di ruang kerja, memanggang daging dan makan bersama di area dapur dan ruang makan—berikut segala hal dramatis tentang perebutan daging dan keluhan Dae Woong tentang itu. Seul SUKA semuanya.

Dan sebelum pergi, Seul menaruh surat yang ditulisnya tempo hari dan baju taekwon di meja kecil ruang keluarga. Dia harap, Mi Ho dan Dae Woong membacanya sebelum dia benar-benar mati, memarahinya, dan menyeretnya pulang untuk dihukum. Seul tertawa sendiri membayangkan terjadinya itu.

Seharian ini rasanya sepi sekali. Padahal saat tak ada guru, teman-teman main kejar-kejaran dan bertengkar karena yang satu dibentur yang lainnya. Pada jam istirahat pun Gye Ran merengek padanya tentang kencan yang diaturkan—dia ingin tahu siapa yang akan Seul kenalkan dan apa yang harus mereka obrolkan tanpa kehadirannya. Seul menasihati, “Samchon, berhenti bersikap kekanakan. Samchon urus saja sendiri.”

Kemudian klub taekwondo hari ini terasa lemas sekali. Entah perasaanku saja, atau memang benar begitu. Tak ada gerakan yang benar-benar diajakan, tak ada latihan yang benar-benar dengan segenap hati. Semuanya bermalas-malasan hari ini.

Sampai akhirnya malam tiba, tinggal Seul dan Na Wi di dalam gedung olahraga.

“Seul-ah, ini hari ke-100,” kata Na Wi, tegang.

“Hm. Aku tahu.” Seul mengangguk, dengan takut-takut.

Mereka tak sangka akan berada di tempat ini pada hari terakhir. Di sini adalah tempat terjadinya ritual tak sengaja yang menggelikan. Selain itu, mereka pernah bertengkar dan saling menghina di tempat ini. Di sinipun Na Wi pernah mengalami kematian dan Seul untuk pertama kalinya Seul menyaksikan itu. Menjadikan tempat ini sebagai tempat terakhir yang dikunjungi, mereka rasa itu tepat sekali.

“Sunbae, walau bagaimanapun, pada hari ke-100 permatamu harus dikeluarkan kan? Kalau tidak, itu akan menjadi milikku selamanya,” kata Seul.

“Kau sungguh akan melakukannya?” Na Wi bertanya.

“Aku kan sudah berjanji.”

“Ya, tapi kau sungguh tidak akan berubah pikiran? Tidak akan menyesal?”

“Tenang saja. Tidak akan.” Seul menguatkan diri.

“Seul-ah, aku—”

Tiba-tiba Seul menggenggam tangan Na Wi. “Sunbae, aku punya ayah dan ibu. Sunbae tahu, kan?”

Na Wi mendengarkan. “Hm. Aku tahu.”

“Ibuku gumiho, tapi ayahku manusia. Sunbae juga tahu itu, kan?”

Na Wi mengangguk.

“Karena itu, saat hujan turun Sunbae temuilah dia, berpura-puralah menjadi anaknya. Sebenarnya ayah dan ibu ingin anak laki-laki. Jadi, Sunbae sering-seringlah pergi ke rumahku. Ya? Dan kalau bisa, Sunbae tinggal saja di sana.” Nada bicara Seul naik-turun emosional. Dia berpesan, tapi SANGAT TIDAK INGIN meninggalkan pesan itu.

Na Wi tak keberatan. “Aku akan melakukannya, tapi Seul-ah—”

“Oh! Mereka juga mungkin akan sangat marah padamu.” Seul memotong lagi. “Karena mereka pasti mengira Sunbae merampas kehidupanku. Meski begitu, Sunbae tahan saja ya? Marah mereka tidak akan lama. Tetaplah di samping mereka dan dengarkan mereka. Sunbae juga jadilah anak yang baik, supaya hidupmu menjadi baik.”

“Aku tahu. Seul-ah—”

“Dan jenazahku ...” Seul ingin menyelesaikan amanatnya sekaligus. “ ... tolong Sunbae bawa ke rumah ya? Aku ingin terlihat seperti sedang tidur. Jadi, Sunbae masuklah diam-diam ke kamarku, letakkan jenazahku di tempat tidur, dan jangan sampai ketahuan. Oke?”

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang