05 - 2 : BERSAMA SAMGYETANG

141 20 0
                                    

Seul dan Na Wi memesan dua porsi samgyetang pada seorang pemuda di meja depan, lalu pemuda itu menunjukan meja untuk dua orang di dekat jendela untuk mereka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seul dan Na Wi memesan dua porsi samgyetang pada seorang pemuda di meja depan, lalu pemuda itu menunjukan meja untuk dua orang di dekat jendela untuk mereka. Seul dan Na Wi langsung ke sana dan menunggu dengan tenang.

Seiring waktu berlalu, Na Wi menjadi semakin tidak sabar. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja atau kaki kirinya bergoyang-goyang resah, sedangkan mata dan kepalanya tak berhenti melihat ke sekitar yang dipenuhi orang-orang yang sedang menyantap samgyetang. Na Wi ingin segera menyantap samgyetang seperti mereka.

Ini aneh, pikir Seul.

Samgyetang pun DATANG. Begitu tutup mangkuk dibuka, sekumpulan asap yang beraroma lezat mengepul cukup tebal. Auh, panas. Biasanya menjelang musim panas Seul menghindari makanan yang seperti ini, tapi .... Na Wi sudah MENGHABISKAN bagian paha kiri pada samgyetang miliknya. Seul tak percaya.

“Sunbae ...” Seul tergagap. Belum pernah ada orang yang makan lebih lahap daripada dirinya dan ibunya sebelumnya.

Na Wi terlalu sibuk untuk diajak bicara, dan mulutnya terlalu penuh oleh makanan untuk bicara. Paha kanan dan kedua sayap sudah habis dimakan. Sekarang dia sedang membongkar bagian dada dan perut. Dia terkesima, dan ber-wah-wah panas saat melihat nasi, kurma, dan ginseng menggeliat keluar dari dalam perut ayam itu. Seolah ini adalah pertama kalinya dia membongkar isi perut ayam pada samgyetang.

Dia mengambil sendok, menyendoki nasi dengan cepat ke dalam mulutnya. Ada bahaya di sana: ginseng. Seul hendak mengingatkan, tapi terlambat. Na Wi sudah terlanjur menggigit ginseng itu dan dia membatu. Awalnya Seul mengira Na Wi suka makan ginseng, tapi ternyata Na Wi melepehkan ginseng itu setelah beberapa detik berada dalam mulut. Sepertinya benar, ini adalah pertama kalinya Na Wi makan samgyetang.

“Ah, mantap!!” seru Na Wi, setelah menyeruput habis kuah sup dalam mangkuk tanah liat itu. Hanya tinggal beberapa butir nasi dan ginseng yang terbelah dua tak sempurna yang tersisa. Untuk pertama kalinya, Seul terpesona pada kecepatan makan seseorang selain ibunya.

“Kau tidak akan makan itu?” tanya Na Wi, pada Seul, sambil menunjuk samgyetang milik Seul yang sama sekali belum tersentuh.

Seul pun sadar, sejak tadi dia belum menyantap makanannya. Maka Seul segera meraih sendok dan berkata, “Aku hanya ... tidak akan makan nasi dan sayurnya saja.”

“Kalau itu, aku juga tidak mau. Makan yang santai sajalah, aku mau pesan lagi.” Lalu Na Wi mengacungkan tangan dan memesan satu porsi tambahan pada pemuda penjaga meja depan yang menoleh dan langsung menghampirinya, tentu saja pemuda itu gembira. Tapi kegembiraan terlihat lebih jelas di wajah Na Wi. Dia seperti orang yang sedang jatuh cinta.

Eh? Pada siapa? Pada samgyetang? Padaku? Pada ... waktu yang dia habiskan hanya bersamaku? Ah, Sunbae ... Seul tersipu karena prasangka yang dibuatnya sendiri.

Setelah mangkuk kedua tiba, Na Wi langsung memangsanya seperti mangkuk pertama tadi. Disela-sela kesibukannya, Seul bicara, “Sunbae ...”

“Ya?” Na Wi menanggapi panggilan Seul dengan mulut yang sibuk.

“Sebenarnya Sunbae berasal dari mana? Sepertinya ini adalah pertama kalinya Sunbae makan samgyetang. Benar?” Seul bertanya dengan sangat hati-hati.

Dengan daging yang melambai di ujung mulut dan kuah yang menetes cepat darinya, Na Wi menjawab, “Ya, kau benar. Bagaimana kau bisa tahu? Hebat. Sebenarnya aku berasal dari—” Na Wi memotong ucapannya sendiri, lalu melanjutkan, “dari jauh deh pokoknya, sulit untuk dijelaskan,” dan Na Wi lanjut makan.

“Benarkah? Dari luar Korea ya?” tebak Seul, tak yakin.

“Mungkin,” kata Na Wi, lancar.

Kata mungkin ini sangat aneh menurut Seul. “Jangan-jangan ... Korea Utara?” tebak Seul, heboh.

“Mungkin,” kata Na Wi lagi, tidak jelas.

Mulut Seul tersedak udara. Kalau benar Na Wi berasal dari Korea Utara, maka ini adalah pertama kalinya Seul bertemu dengan orang Korea Utara. WAH. Kalau begitu, artinya Na Wi tidak tahu apa-apa tentang negara ini. Baiklah, Seul akan mencoba.

“Sunbae, tahu tidak?” kata Seul, bisik-bisik, “Di negara ini, di Seoul terutama, kalau dua bibir bersentuhan, maka ada tahap selanjutnya yang harus dilakukan. Kalau tidak, bibir itu akan mengecil!” Seul merasa sangat bodoh sesaat setelah mengatakan ini. Na Wi hanya orang asing, bukan orang bodoh atau anak TK. Auh, Seul menyesali perkataannya dan berharap Na Wi tidak mendengarkan ucapannya barusan agar dirinya tidak perlu melanjutkan karangan bodoh itu.

TAPI tulang sayap ayam yang tadinya menggantung di mulut Na Wi terjatuh karena mulutnya menganga. Dia berkata, “Benarkah?” dengan prihatin.

“BENAR!!” tanpa pikir panjang, Seul langsung membenarkan.

Na Wi meregangkan mulutnya, melatih huruf vokal berkali-kali. Lalu dia melirik mangkuk yang masih penuh oleh makanan. “TIDAK BISA,” dia membuat Seul kaget,“selera makanku baru membaik setelah makan ini dan aku sudah berniat untuk datang ke sini setiap hari. DI TEMPATKU TIDAK ADA DAGING SEPERTI DI SINI INI!!”

Seul menyambung emosi berlebihan Na Wi dengan sangat baik—itu adalah salah satu bakat yang dia dapat dari ayahnya, “APA?! DI TEMPAT SUNBAE TIDAK ADA DAGING SEPERTI INI?!” Selanjutnya Seul akan menggunakan teknik menggoda bayi, seperti yang sering ayahnya lakukan pada Mi Ho, “Wah, bagaimana ini? Itu tidak boleh terjadi. Sunbae tidak boleh melewatkan daging seenak ini, dan lagi selera makan Sunbae baru membaik, bukan? Kalau begitu, jangan sampai memburuk lagi! Itu tidak boleh terjadi!! SAMA SEKALI TIDAK BOLEH!”

Dengan amat serius, Na Wi bertanya, “Apa tahap selanjutnya yang harus dilakukan itu?”

Seul celingukan sebelum menjawab pertanyaan Na Wi. Dia merapat ke meja, mendekatkan wajahnya pada Na Wi, lalu menjawab dengan berbisik, “Chi-um-man.”

Na Wi syok.

Seul kembali ke posisi semula, tak merapat ke meja.

“Benarkah itu harus dilakukan?” tanya Na Wi, tegang dan polos.

Seul mengangguk dua kali.

Dan BRAK, tiba-tiba Na Wi menggebrak meja.“Kalau begitu, lakukan sekarang juga!” ucapnya, dengan sangat mantap.

“EH?!”

Seul tidak siap. Sungguh, Seul tidak siap. Di tempat terang dan ramai begini? Ey, tidak mungkin. Bahkan meja-kursinya bukan meja-kursi yang tertutup. Dari luar pun dia dan Na Wi bisa terlihat jelas sekali. Selain itu, Seul dan Na Wi sedang memakai seragam sekolah.

“Eh, jangan! Jangan sekarang,” kata Na Wi, berubah pikiran.

Uh, lega sekali. Seul mengelus dada.

“Kita lakukan lain hari saja, bagaimana?” usulnya.

Seul  mengangguk seketika.

“Besok saja. Eh, tidak. Kapan kau bisa?” Na Wi serius sekali.

Apa-apaan ini? Tidak seperti yang Seul harapkan. Seharusnya ada suasana romantis, tapi kenapa jadi terkesan buru-buru begini? Bukan berarti Seul benar-benar ingin berciuman dengannya, tapi— Aih, Cha Gu Seul! Fokus! Misimu adalah menyelamatkan nyawanya. Ya, itu baru benar!

Seul berkata, “Besok boleh saja, tapi jangan di tempat seperti ini. Aku akan cari tempat yang tepat untuk melakukannya. Kalau begitu, ponsel!” Kedua telapak tangan Seul menumpuk di depan Na Wi, Seul meminta bertukar kontak dengan Na Wi.

“Untuk apa?” tanyanya.

“Kalau sudah temukan tempat yang tepat, aku harus hubungi Sunbae kan?”

“Benar juga. Ini.” Na Wi memberikan ponselnya pada Seul.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now