01 - 2 : PAMAN dan KEPONAKAN

360 36 0
                                    

Setelah selesai makan, Seul berdiri di depan pintu halaman rumah. Dia hanya menyaksikan mobil ayahnya melintas dengan indah. Dae Woong tidak pernah mau mengantar Seul ke sekolah. Katanya Seul harus berangkat sendiri biar mandiri, atau katanya nanti bisa-bisa teman-teman Seul mengerubuti dirinya—sebenarnya Seul membenci kenarsisan ayahnya itu. Dae Woong selalu menyuruh Seul untuk naik bus atau berangkat bersama pamannya saja naik sepeda.

Sebenarnya Seul tidak butuh tumpangan kalau hanya sepeda. Selain lambat, juga merepotkan. Belum lagi kalau harus menunggu kedatangan pamannya yang sering terlambat. Kata ayah, ibu, nenek, kakek, dan bibi Seul, selagi satu sekolah dengan pamannya, Seul harus selalu berangkat bersamanya. Sebagai anak perempuan satu-satunya dan termuda dalam keluarga, Seul tidak punya pilihan selain patuh.

Kemudian telinga Seul menangkap suara rantai sepeda dan napas yang terengah-engah. “Ah, keringat paman.” Seul bisa mengenali baunya dari kejauhan. Tak lama, sosok pamannya mulai kelihatan.

“Seul-ah, maaf, tadi Samchon lupa,” katanya, sambil mendaratkan kaki di aspal.

Seul sudah menduganya. Ban Gye Ran—adik sepupu Dae Woong—hanya dua tahun lebih tua dari Seul, karena itu mereka sering ditempatkan di sekolah yang sama untuk menjaga Seul kalau kata para orang tua. Tapi sebenarnya siapa yang menjaga siapa? Seul selalu jengkel dibuatnya.

Waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Seul dan Gye Ran diantar nenek Seul, ibunya Gye Ran, ke sekolah. Nenek Seul berpesan, “Gye Ran-ah, kau jaga keponakanmu ini ya? Kau harus bantu dia supaya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Ingat, dia keponakanmu.”

“Baik, Eomeoni,” jawab Gye Ran, khidmat.

Dia adalah seorang anak yang patuh dan tidak menyusahkan menurut orang tua dan orang dewasa lainnya, tapi dia adalah seorang paman yang sok tahu dan sok tua menurut Seul. Setidaknya itulah yang Seul tahu sebelum mereka mulai bersekolah bersama. Lalu beberapa menit setelah melewati gerbang sekolah, Seul mengetahui fakta lain.

Segerombolan anak laki-laki berbadan besar mencegat.

“Hey, gyeran mari! Hari ini kau diantar ibumu lagi ya?” kata anak jangkung.

“Dasar anak manja!” kata anak gendut.

“Uang jajan!” kata anak keriting, sambil menyodorkan telapak tangan.

Dengan bodohnya, Gye Ran menuruti perintah mereka. Seul tak terima uang jajan pamannya yang seharusnya bisa sedikit dicicipi olehnya malah diberikan pada anak-anak kurang ajar itu. Sebelum Gye Ran menyerahkan uang itu pada mereka, Seul tampil membela pamannya. Seorang anak perempuan berumur delapan tahun (delapan tahun usia Korea artinya tujuh tahun usia umum) berkecak pinggang dan berseru, “Hey, kalian tidak boleh begitu pada anak lain! Memangnya ibu kalian tidak memberi kalian uang jajan? Dasar anak nakal!”

Otomatis anak-anak kurang ajar itu menertawakan Seul dan semakin meledek Gye Ran. Gye Ran meminta Seul untuk berhenti melawan mereka, tapi Seul tak mau. “Mereka HARUS diberi pelajaran,” kata Seul.

Kemudian Seul mendorong yang kurus tinggi hingga tanpa sengaja menabrak tiang sekolah yang membengkok karena tabrakan itu. Sejak itu, Seul dan pamannya tidak pernah diganggu oleh siapa pun lagi di sekolah.

Lalu waktu Gye Ran kelas enam, cintanya ditolak oleh anak perempuan sekelasnya. Dia berisik, menangis—marah seharian. Seul tidak tahan mendengarnya. Seul pun mendatangi gadis itu dengan mengandalkan penciuman tajamnya. Seul tiba-tiba saja muncul di depannya dengan menyeramkan dan bilang, “Hey, mati kau!”

“AARGH!” gadis itu histeris ketakutan karenanya.

Seumur hidupnya, Gye Ran telah cukup banyak melihat keanehan Seul. Meski begitu, Gye Ran tidak pernah merasa takut pada keponakannya itu. Dia selalu berbakti dan menjaganya dengan baik sesuai kemampuannya.

“Samchon, kita terlambat. Aku saja yang kayuh sepedanya ya?” usul Seul.

Gye Ran tidak pernah melawan keinginan Seul. Dia mundur teratur dan membiarkan Seul memboncengnya walau itu akan terlihat konyol baginya. “Seul-ah, jangan terlalu cepat ya?” pesan Gye Ran.

“Okeh!”  Seul berbohong. Dia selalu mengayuh cepat, bahkan sebanding dengan sepeda motor yang mengebut. Apalagi di hari seperti ini, Seul tidak boleh terlambat di hari pertama sebagai anak SMA. Jadi, ayo kita lihat seberapa panjang napas Gye Ran dan seberapa tinggi nada suara yang bisa dicapai olehnya! Seru Seul, dalam hati.

Setelah kayuhan pertama, angin ribut menantang wajah mereka. Gye Ran berteriak seketika, “SEUL-AH ...!” panjang dan lama, kira-kira hampir dua menit penuh, dan nadanya menurun setelah mencapai tiga oktaf. Sedangkan Seul SANGAT BAIK-BAIK SAJA. Seul tak masalah dengan rambut berantakan.

Orang-orang menonton, merasa aneh dan heran. Meski sekilas, Seul bisa mendengar ucapan mereka: ‘Wah, apa sepedanya pakai motor?’ dan ‘Anak itu lagi, tidak heran.’ dan ‘Kurasa dia bisa memenangkan olimpik dengan kecepatan seperti itu.’ dan lainnya. Dan Seul rasa, pamannya bisa ikut seriosa dengan suara seperti ini. Haha!

Mereka pun tiba di sekolah.

“Wah, kau benar-benar luar biasa!” Gye Ran mengacungkan jempol sambil lemas dan terengah-engah. Dia menyeka dahinya yang keringatnya dikeringkan oleh angin perjalanan tadi.

“Samchon, aku duluan!” kata Seul, pamer telapak tangan.

“Memangnya kau tahu di mana kelasnya?” Gye Ran khawatir.

“Tenang saja, aku TAHU semuanya,” kata Seul, berpengalaman.

“Baiklah, selamat belajar!” ucap Gye Ran, yakin.

“Ya, Samchon juga!”

Pertemuan mereka berakhir di sana dan pertemuan Seul dengan teman-teman baru dimulai setelahnya. Hal pertama yang Seul perhatikan adalah gedungnya. Seul menimang: sepertinya gedung ini tidak mudah runtuh, dan akan butuh beberapa tendangan untuk sekedar meretakan dindingnya. Hal kedua yang Seul perhatikan adalah meja dan kursi. Meski ada besi di kaki meja dan kursi itu, tapi Seul masih harus berhati-hati. Ah, Seul tidak suka berhati-hati. Kemudian barulah teman-teman. Kira-kira manakah yang akan menjadi teman baik Seul semasa SMA ini?

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now