18 - 2 : SILUMAN

96 9 0
                                    

Kembalinya Na Wi ke sekolah membuat sedikit kehebohan. Para fans histeris menyambut kedatangannya, sedangkan dirinya gelisah celingukan. Tujuannya kembali adalah agar bisa bersama Seul. Tapi sampai lima menit sebelum bel dibunyikan, anak itu belum muncul juga.

Seul baru saja turun dari boncengan pamannya. Dia sedikit marah karena keterlambatan jemputan sang paman dan karena kepayahannya dalam mengayuh. Kemudian dia terburu-buru memasuki area sekolah.

Di depan dinding bangunan yang retak, mereka—Seul dan Na Wi—bertemu pandang. Hingga bel berbunyi, mereka hanya saling melempar senyum senang kemudian membubarkan diri secepat mungkin agar tidak didahului guru masuk kelas.

Menunggu kelas dibubarkan tak pernah se-lama ini sebelumnya. Seul sungguh tidak sabar. Dan saat jam istirahat tiba, ternyata Na Wi sudah ada di depan kelasnya. Karena itu, mereka sempat direcoki oleh teman-teman sekelas Seul. Seul dan Na Wi hanya tersipu.

Pulang sekolah, mereka kembali berkencan. Seperti biasa, makan daging. Bedanya kali ini Na Wi sudah kenyang dengan memandangi Seul makan dan Seul juga cepat kenyang karena perutnya bukan lagi perut siluman. Uang yang mereka habiskan tak banyak, karena itu pelayan restoran menyampaikan sedikit kekecewaannya dan bertanya apakah daging di restorannya sudah tidak enak lagi. Seul dan Na Wi menjawab tidak untuk pertanyaan itu.

Pulang sekolah berikutnya, mereka bekerja di tempat pencucian mobil. Ada satu hal yang sedikit mengecewakan Seul: biasanya dalam satu hari mereka bisa melakukan dua atau tiga pekerjaan paruh waktu, tapi sekarang hanya satu. Na Wi memarahinya jika bekerja terlalu keras, dan sebenarnya Seul pun merasa lelah.

Daripada makan dan bekerja, mereka lebih banyak berbicara. Mereka mengobrol tentang persiapan Na Wi untuk menghadapi ujian masuk universitas. Seul bercerita tentang kemalasan pamannya yang akhirnya memutuskan menyerah untuk itu dan akan jadi pemain figuran saja di film yang disutradarai oleh ayahnya—kakek Seul. Mendengar itu, Na Wi tertawa lepas. Na Wi juga bercerita tentang pengalamannya selama menghilang. Kampung halamannya adalah hutan yang telah berubah menjadi sebuah pedesaan. Sesampainya di sana, dia sempat tersesat dan dikira hantu oleh salah satu manusia yang tak sengaja melihatnya berkelebat dalam kabut di suatu sore. Untuk itu, Seul tertawa cukup keras dengan menambahkan bahwa Na Wi itu bukan hantu, tapi siluman.

Di tengah malam yang cerah, Seul dan Na Wi menikmati masing-masing satu kaleng minuman bersoda selepas kerja. Keduanya sama-sama mendesah segar dan tertawa untuk itu.

Seul diam-diam merogoh saku dan menyodorkan sebuah amplop pada Na Wi yang bertanya-tanya lewat mata padanya. “Bayaran yang barusan. Untuk Sunbae saja,” kata Seul, menyodorkannya lagi.

“Kenapa?” Na Wi tidak mengambilnya.

“Aku tidak perlu,” kata Seul, lalu Seul menyelipkan amplop uang itu ke tangan Na Wi.  Katanya, “Sebentar lagi kan aku tidak akan ada lagi di dunia ini.”

Hening sejenak.

Sementara Seul memandang langit yang tidak begitu berbintang, Na Wi meremas amplop pemberian Seul dan mengembalikannya. Seul otomatis menoleh dan dia amat kaget ketika melihat mata melotot Na Wi. Na Wi bicara, “Jangan membahas atau memikirkan kematian. Aku tidak suka.”

“Kenapa? Merasa bersalah ya?” Seul bercanda.

Na Wi tersedak kata-kata. “Heh, jangan coba-coba mati. Awas ya!” Na Wi melotot.

Seul tersipu. “Sunbae juga,” katanya.

Lalu beberapa daun jatuh menyela pembicaraan mereka. Sesaat, Seul terpesona lalu berubah kesal seketika. Na Wi mengeluh mewakilinya, “Aih, di saat seperti ini kenapa musim gugur malah tiba? Membuat sedih saja.”

Seul menoleh memandangi tengadah Na Wi. Dia merasa konyol mendengar kata-kata itu darinya. Lalu Seul bertanya, “Kenapa Sunbae tiba-tiba muncul?”

“Eh?” Na Wi tak mengerti.

“Waktu itu, kenapa Sunbae tiba-tiba kembali lagi? Rindu padaku ya?” Seul meledek.

Na Wi memalingkan muka dengan segera. “Cih. Siapa? Jelas-jelas aku kembali untuk mengambil kembali permataku. Tak ada alasan lain.”

Seul lemas. “Oh, begitu. Tentu saja.”

Na Wi jadi merasa bersalah karenanya. Dia berusaha untuk mengubah suasana. “Kau sendiri? Kenapa kau menangis keras seperti itu? Kau pasti SANGAT SANGAT SANGAT merindukanku, benar kan?” Na Wi menyombong.

“Jangan ngarang deh.” Seul cemberut.

Na Wi pun tak mau kalah monyong. “Cih. Kenapa tidak telepon dan bilang saja, ‘Sunbae, aku kangen’. Kau ini bodoh atau apa? Kukira, kau benar-benar akan membiarkanku mati kesakitan.”

Seul menghembus napas malas. “Sudah, tapi Sunbae SELALU di luar jangkauan. Jadi kukira Sunbae sedang berada di pedalaman atau benar-benar sudah mati kesakitan.” Seul menekan dua kata terakhir, karena SANGAT TIDAK SUKA MENDENGARNYA.

“Sudah ah.” Na Wi tidak mau membahas itu lagi.

“Sunbae,” tiba-tiba Seul merengek, “sebenarnya aku tidak mau mati. Tidak bisakah permata ini untukku saja?” Seul setengah serius mengatakannya.

Na Wi juga setengah serius menanggapinya. “Lalu aku? Bagaimana denganku? Kau tidak keberatan aku mati begitu saja, hah?”

Seul melengos dan kembali monyong-monyong.

Lalu kata Na Wi, “Aku juga sebenarnya tidak mau membiarkanmu mati.”

Merinding dan hening sesaat. Lalu Seul punya ide, “Sunbae, seratus hari ini kan belum terlewat semua, bagaimana kalau kita mengambil jalan tengah?”

“Kau gila? Ini sudah bukan tengah. Sembilan puluh hari sudah berlalu sejak aku menghisap darah di jarimu.” Na Wi ngotot. “Dengar. Misalnya kau ditakdirkan hidup seratus tahun lagi dari sekarang, artinya 90 tahunmu sudah ku ambil dan kau hanya bisa hidup sampai sepuluh tahun ke depan. Berarti kira-kira saat anakmu baru masuk sekolah dasar, kau akan mati sedangkan anak itu masih membutuhkanmu. Kau tega membiarkan anakmu yang masih kecil tumbuh tanpa ibu?”

Seul menghela lagi karena cerocosan tak bermutu itu. Imajinasi sunbae konyol sekali. Sepuluh tahun kemudian aku sudah punya anak yang masuk sekolah dasar, katanya? Sekarang ini aku masih 16 tahun, kelas satu SMA. Dan ... aku akan punya anak dari siapa? Ish. Seul bercerocos dalam hatinya sambil melirik-lirik ke arah Na Wi.

“Dan aku belum tentu bisa bertahan dengan baik,” lanjut Na Wi, lemas.

Seul tak tersentuh oleh muka melasnya. Dia membalas. “Benar! Bisa saja Sunbae semena-mena padaku, kan? Lalu jangan-jangan saat aku kembalikan permata ini dan aku mati saat itu, Sunbae memakan dagingku. Auuhh, tidak bisa! Aku tidak sanggup membayangkannya!”

Na Wi menelan ludah. “HEY, AKU TIDAK MAKAN DAGING MANUSIA.”

“Kenapa? Sunbae kan gumiho. SI-LU-MAN.” Seul melotot kesal. “Ah, karena aku ini manusia, jadi aku harus punya hati dan menepati janji.” Seul menyindir.

Na Wi tak punya cadangan kalimat balasan. Dia hanya punya sebuah saran yang tiba-tiba muncul di pikiran, “Bagaimana kalau kau pakai permata milik ibumu?”

Kekesalan Seul hanya bertambah. “Lalu ibuku? Mungkin akan mati karena di situ satu-satunya energi yang dia miliki dan ayahku akan menyusulnya karena sangat sakit hati. Sunbae tega mengorbankan mereka?”

“Oh, benar!” Tangan Na Wi bertepuk. “Kalau begitu, bagaimana dong?”

Kalau saja Seul masih punya kekuatan ... “Tau ah.” Seul tak peduli.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now