12 - 2 : PENIPU LICIK

102 12 0
                                    

Sepanjang jalan, Seul tidak protes meski pamannya mengayuh sepeda dengan sangat lamban. Angin hari ini sejuk sekali meski sudah lama tidak ada hujan. Sampai di sekolah, Seul bersenandung sambil berjalan menuju kelas. Lalu di kelas, Seul duduk sambil bersenyum-senyum.

“Wow, Seul-ah, kau sedang senang ya? Terjadi sesuatu? Apa? Kudengar dari pamanmu, kau dan Na Wi Sunbae sudah menjalin hubungan. Sudah sejauh mana?” pagi-pagi begini, In Sa cerewet sekali—dia membuat senyum Seul semakin tak tertahan.

“Kalau kuceritakan padamu, aku malu sekali.” Seul tersipu.

“Ah, kau membuatku semakin penasaran saja. Apa? Apa yang terjadi? Kalian sudah pergi ke mana saja? Kemarin pergi ke mana? Apa yang kalian lakukan? Ayo ceritakan!!! Seul-ah ...” In Sa merengek tanpa henti, mengguncangkan Seul hingga senyum-senyum sipu Seul tadi menghilang diganti ekspresi pusing.

Seul menghentikan rengekan In Sa dengan satu telapak tangan. Katanya, “Daripada itu, ada yang lebih membuatku senang lagi.”

In Sa antusias. Dia duduk ribut di samping Seul dengan mata berbinar-binar, dan siap mendengarkan.

Seul bercerita, “Sejak aku memberikan sesuatu yang paling berharga milikku pada Sunbae, aku rasanya ... JADI BERBEDA. Dan tadi malam aku sudah membuktikannya. Hidupku akan benar-benar berbeda mulai hari ini!!”

Ketika Seul telah tersadar dari lamunan indahnya—tentang kehidupan yang berbeda itu—akibat suruhan salam Ketua Kelas kepada Guru Jin yang baru saja memasuki kelas, In Sa masih berkutat memikirkan maksud ucapan Seul. In Sa mencernanya dengan detail, dia mengulang, ‘memberikan sesuatu yang berharga, hidup jadi berbeda, sudah dibuktikan, lalu hidupnya benar-benar akan berbeda’. Dan dia tahu pada pertemuan sebelum Seul dan Na Wi resmi berkencan, hal yang mereka lakukan adalah ... ciuman. Jangan-jangan maksud Seul adalah ...

“SEUL-AH, KAU ITU MASIH ANAK SMA! TAHUN PERTAMA! KAU BISA SAJA CIUMAN, TAPI HAMIL ITU JELAS TIDAK BOLEH!!!”

Ceramah melotot-ledak In Sa berakhir dengan kekikukan. Seketika itu, bisik-bisik jahat terdengar di dalam kelas. Dan karena pendengaran Seul sangat kuat, dia bisa tahu darah Guru Jin bergejolak dan naik hingga ke ubun-ubun. Karenanya, dia dan In Sa diseret ke Ruang Konseling.

Guru Jin menjelaskan detail kejadian pada Guru Konseling. Setiap delik mata, telan ludah, dan amarah Guru Konseling bisa Seul dengar dan rasakan dengan jelas. Seul benar-benar dalam masalah. Kali ini dia bukan dipanggil karena pengrusakan barang, tapi KARENA PENGRUSAKAN MORAL. Ini sungguh diluar dugaan.

“Ayo jujur, kau hamil? Siapa ayahnya?” tanya Guru Konseling, ketat.

“Tidak, saya tidak hamil, Seonsaengnim.” Seul merengek.

“Jangan takut, katakan saja. Seonsaengnim akan melindungimu,” bujuk Guru Konseling, dan disambut anggukan setuju oleh Guru Jin.

Seul frustasi, melindungi dari apa? batinnya, resah dan konyol.

“Tapi saya benar-benar tidak hamil, Seonsaengnim. Saya tidak melakukan apa-apa, SUNGGUH.” Seul agak ngotot saat mengatakan kalimat barusan.

“Lalu kenapa temanmu bicara begitu?” Guru Konseling melirik pada In Sa, dengan tajam.

Seul mendesah, “In Sa salah paham. Saya mengatakan sesuatu dan dia salah mengartikan. Sungguh, saya tidak melakukan apa pun yang merusak moral.”

Seul mendengar hembus napas tak percaya, sekaligus kasihan dan khawatir bercampur di dalam hembusan napas Guru Konseling dan Guru Jin itu.

“Cha Gu Seul, ayo jujur. Siapa yang melakukan itu padamu? Tidak perlu takut. Katakan semuanya pada Seonsaengnim. Seonsaengnim bisa pastikan kau aman. Kau akan dilindungi. Jadi katakan saja, tidak perlu takut.” Guru Konseling membujuk Seul mati-matian.

Seul geleng kepala. “Saya tidak takut. Sama sekali tidak merasa takut. Bahkan saya duluan yang—”

“Kau duluan yang ... yang apa?” Guru Jin melotot-melotot heboh.

Auh, Seul terjebak. Wajahnya memerah dan matanya berair. Dia tidak tahu cara memberi penjelasan pada guru-gurunya ini. Dia tidak mungkin bercerita tentang permata rubah, Na Wi, dan ekor pertamanya yang baru saja tumbuh. Kalau itu diceritakan, ada dua kemungkinan: dia dianggap gila atau dia memang gila.

Melihat Seul yang berkaca-kaca, Guru Jin menyarankan untuk mengirim Seul kembali ke kelas. Apa pun alasan di baliknya, setidaknya untuk sementara Seul bisa lolos dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

Tiba di kelas, Seul menjadi lebih terkenal dari ayahnya yang seorang selebriti. Dan ketenarannya semakin terbukti saat jam istirahat. Semua orang—yang bahkan tidak dikenalnya—menghardik, berbisik, dan mengumpat, membicarakan Seul yang melakukan pergaulan bebas dan akhirnya hamil di luar nikah.

“Hey, Penguntit!!” salah satu suara terdengar sangat jelas. Saat melihat wajahnya, Seul tahu pemilik suara itu adalah penggemar Na Wi yang selalu menatap dan menguntit Na Wi diam-diam ke mana pun Na Wi dan Seul berkeliaran di dalam sekolah—bahkan pernah terlihat dia menguntit di luar sekolah.

Dia menjambak rambut Seul dan marah-marah, “Heh, kau ini sebenarnya apa sih? Orang atau bukan? Kenapa begitu tidak tahu malu? Kudengar, kau duluan yang menawarkan diri? Dasar murahan!!”

Sebenarnya Seul bisa saja melempar orang itu hingga ke kutub utara saat itu juga, tapi itu terlalu berisiko. Rencananya, Seul akan berpura-pura sakit dan terluka parah agar dirinya terlepas dari jambakan ini. Tapi karena sangat tidak tahan, dia menghembuskan napas gerah, dan BRUK! Si Penjambak ambruk. Tepat saat itu, Na Wi muncul. SEUL TEGANG LUAR BIASA.

“Na Wi-ya, barusan itu dia mendorongku. Aduh, sakit sekali.” Si Penjambak bermanja, mencari perhatian Na Wi.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh.” Seul bergidik bukan.

Tatapan Na Wi lurus pada Seul. Seul memiliki pendengaran yang tajam, tapi dia tidak bisa membaca pikiran. Tatapan tajam, bibir mengecil, dan dagu melancip, kira-kira apakah artinya? Sesaat kemudian, Seul menyimpulkan—saat Na Wi membantu gadis itu berdiri dan memegangi tangannya BAHKAN MERANGKULNYA—bahwa Na Wi berpihak pada gadis itu.

Na Wi terdiam dan udara dingin melingkupi suasana ini. Gadis manja itu bergidik kedinginan, tapi di sela-selanya dia tersenyum menang. Kekalahan semakin terlihat jelas di pihak Seul.

“Sunbae ...” sebut Seul.

“Rupanya kau bukan manusia,” ucap Na Wi, dengan sangat menyakitkan, pada Seul. Lalu dia melanjutkan, “Kau membohongiku. Katamu itu adalah ritual, ritual penyelamatan. Tapi semua itu hanya bohong belaka, kan? Kau sama sekali bukan manusia. Kau penipu, penipu licik yang lihai sekali. Kau rubah. Kau TAK LEBIH DARI seekor rubah LIAR. Ayo!” Na Wi pergi bersama gadis manja itu, meninggalkan Seul dalam keterpurukan.

Raut wajah semua orang semakin menajam ke arah Seul. Di antaranya ada yang tidak menyangka Na Wi mengatakan kalimat barusan sampai patah hati dan sakit hati mendengarnya, tapi kebanyakan orang berpuas hati melihat Seul dicampakan oleh Na Wi. Mereka senang saingan terberat mereka untuk mendekati Park Na Wi telah sepenuhnya tersingkir, dan pasca kejadian ini, mereka jadi BERKALI-KALI LIPAT MEMBENCI SEUL. Tidak ada seorang pun yang memilih untuk mengerti keadaan Seul.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Donde viven las historias. Descúbrelo ahora