09 - 2 : YANG PERTAMA

125 14 0
                                    

Pensil Seul berguling gusar di atas meja, sementara pemiliknya melungsar. Dia bosan setengah mati mendengarkan puisi—yang sama sekali tidak bisa dia mengerti—yang dibacakan oleh Guru Im di kelas Bahasa dan Sastra Korea ini. Dia berusaha untuk tidak tertidur, karena sebentar lagi waktunya istirahat makan siang. Seul menargetkan Na Wi begitu kelas dibubarkan. Karena permata rubahnya ada pada Na Wi, dia harus MENEMPEL padanya supaya dirinya tidak melemah karena menyerahkan sumber kekuatannya yang mungil itu ke tubuh orang lain.

Tak menemukan Na Wi di aula makan sekolah, Seul mencarinya ke seluruh penjuru sekolah. Dia melewati beberapa kelas dan dinding retak yang waktu itu—yang Seul kira retak oleh Na Wi. Seul mengagumi keindahan retakan dinding itu, dan tanpa sadar dia mencoleknya. Kemudian suara-suara aneh terdengar darinya: aliran retak yang lain.

“Hah?!” Seul berusaha menghentikan aliran retak itu dengan menempelkan kedua telapak tangan pada dinding, tapi aliran retak itu malah mengalir semakin cepat. Seul meraba sana-sini, jadi terlihat seperti spiderman kalau dari jauh.

Bagaimana ini? Bagaimana ini? Ah, aku tidak boleh dikeluarkan. Ah, ini bukan salahku. Sungguh, ini bukan salahku. Setidaknya aku bukan sengaja. Eh? Tapi—ah, entahlah. Dinding, berhentilah retak. Kumohon!!

“Kau di sini rupanya,” suara yang dikenal terdengar.

Seul berbalik seketika, dan menempel semakin rapat pada dinding. Dia berniat menutupi retakan yang berselancar jauh lebih tinggi ke atas kepalanya itu. Seul tidak mau Na Wi memergoki kekuatan supernya dan melaporkannya pada kepala sekolah.

“Kau ... baik-baik saja?” Na Wi hanya memperhatikan Seul, tidak tertarik sedikit pun pada dinding yang sedang dengan jelas ditutup-tutupi oleh Seul.

“YA!” jawab Seul, ceria dibuat-buat.

“Sepertinya dinding ini semakin parah saja ya?” kata Na Wi kemudian, sambil menengadah memperhatikan dinding di balik punggung Seul. “Padahal waktu itu aku hanya menekannya sedikit,” tambahnya. Lalu dia bertanya sekali lagi, “Kau sungguh tidak apa-apa?”

“Eh?” Seul bingung, ‘tidak apa-apa’ apa maksudnya? Dindingnya atau kejadian waktu itu? Auh, Seul benar-benar terjebak.

Na Wi bertanya lagi, “Kau baik-baik saja kan? Pamanmu bilang, kemarin kau tidak masuk sekolah. Kau tidak sedang sakit kan—sekarang?”

Seul menghela napas lega. Senyumnya pun melebar seketika dan pipinya memerah secara tiba-tiba. SEUL SANGAT BERBAHAGIA.

“Hey, ada apa denganmu? Kenapa pipimu tiba-tiba memerah begitu?”

“Eh? Aku tidak apa-apa,” ucap Seul, dengan berbunga-bunga. Dia tidak bisa menahan tawa bahagia. Tapi kalau tawa itu dilepaskan, dia akan terlihat seperti orang gila. Seul pun berakhir dengan menggigiti bibir dan meremas pipi dengan kedua tangan sementara badannya terus mendesak dinding yang bersuara retak lebih keras dari sebelumnya.

Sontak, Na Wi menarik Seul menjauh dari dinding itu. “Wah, sepertinya dinding ini akan runtuh. Ayo menjauh!”

Seul semakin berbunga-bunga. Perjalanan dari tepi dinding ke tepi lapangan tak pernah terasa sesingkat ini sebelumnya. Seul berharap, Na Wi membawanya hingga ke tepi lapangan satunya. Tapi mereka berhenti hanya kira-kira lima meter dari dinding.

“Hehe, sepertinya ritual itu berefek sangat besar untuk kita berdua. Aku tidak menyangka.” Seul bergumam sambil mengulum bibir dan melirik-lirik malu ke arah Na Wi, entah apa yang sedang anak ini pikirkan.

“Kau ingat?!” Na Wi antusias. Dia membahas tentang ciuman waktu itu.

“Hmm ... sebenarnya tidak terlalu sih, tapi aku ingat kok. Aku ingat. Jadi, jangan khawatir.” Seul cukup sering menonton drama. Ketika pria dan wanita berciuman dan keesokan harinya salah satu dari mereka melupakan kejadian itu, maka yang lainnya akan merasa sangat kecewa. Seul tak mau itu terjadi pada dirinya dan ‘lawan mainnya’. Seul tersipu bangga pada dirinya sendiri.

“Kau ingat, dan ‘jangan khawatir’ katamu?!” Na Wi tak percaya.

“Hm! Aku ingat semuanya, DENGAN JELAS,” ucap Seul, dengan berlebihan.

“Tapi kau masih mau bicara denganku seperti ini? Kau tidak takut padaku?” Na Wi PERLU memastikan hal itu berulang kali supaya Seul maupun dirinya tidak menyesal nantinya.

“Ta-takut?” Seul sama sekali tidak tahu yang sedang dibahas oleh Na Wi. Yah, karena dia tidak benar-benar mengingat kejadian waktu itu dan entahlah dia melihat wujud asli Na Wi atau tidak.

“Ya. Kau sudah melihat semuanya dan kau ingat. Biasanya kalau sudah begitu ...”

Seul menyusun naskah drama yang lain: Oh! Sunbae pasti mengira aku adalah gadis lugu atau semacamnya. Ah, manis sekali Sunbae ini. Kalau begitu, aku harus bertingkah seperti apa ya? Pura-pura kaget? Eh, tapi kan aku sudah bilang kalau aku ingat semuanya tadi. Pura-pura kaget hanya akan membuatku terlihat konyol. Seul sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Sungguh, kau tidak takut?” Na Wi bertanya lagi dan lagi, membubarkan imajinasi ‘liar’ Seul.

“Kenapa harus takut?” kalimat itu meluncur dengan sendirinya dari bibir Seul. Katanya, “Sunbae bukan hantu atau pembunuh berdarah dingin dan semacamnya kan? Aku tidak takut.”

Tak ada respons. Seul menegang.

“Syukurlah,” kata Na Wi, dan tiba-tiba dia menggenggam kedua bahu Seul dengan antusias. “Kau yang pertama setelah selama ini. KAU YANG PERTAMA. Jadi, aku bisa terus berada di dekatmu, kan?” Na Wi menatap Seul dengan penuh harap.

Tanpa ijin otaknya, Seul mengangguk dua kali.

“Gomawo, JEONGMAL gomawo. Tapi ini rahasia ya?”

Dahi Seul berkedut dahsyat. Dia tak percaya pada pendengarannya. Baru saja, Na Wi berterima kasih padanya dan meminta dirinya untuk tetap di dekat Seul! Ah, ini bukan mimpi, kan? Dan dia ingin ini menjadi rahasia? Rahasia di antara mereka berdua saja? Auh, romantisnya. Seul berseri-seri. Baiklah, Seul akan MEMBUAT cerita cinta pertama Na Wi menjadi sangat indah. Lihat saja! Seul bertekad.

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang