17 - 1 : HILANG

91 9 0
                                    

“Eomma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Eomma ...” Seul merintih memanggil ibunya, sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.

Mi Ho terbangun seketika. Daun telinganya bergerak-gerak seperti kuping kelinci. Ada perasaan aneh, rasa tidak enak yang tidak bisa dia sendiri gambarkan. Dia membangunkan Dae Woong yang terlelap tidur di sampingnya.

“Ah, apa sih?” Dae Woong malas bangun.

“Seul-i ...” Mi Ho merengek.

“Kenapa?”

“Aku merasa aneh.” Mi Ho menyibak selimutnya dan bergegas menuju kamar Seul tanpa menjelaskan apa pun pada suaminya. Karena bingung, Dae Woong hanya duduk mengantuk di atas ranjang.

“Woong-ah! Seul tidak ada di kamarnya!” segera setelah mendengar istrinya berteriak, Dae Woong menjadi cerah. Dia bergegas menyusul istrinya, melihat keadaan.

Benar, kamar Seul kosong dan ranjangnya belum disentuh sama sekali. Mi Ho panik sekali.

“Aku di sini.” Suara lemas terdengar dari luar pintu. Seul baru saja menginjakan kaki di ujung tangga. Mi Ho dan Dae Woong segera menghampirinya dengan panik sekaligus lega. Lalu Seul berkata,  “Eomma, ekorku ... ekorku menghilang.”

Mi Ho tak merespons.

Seul bercerita, “Tadi aku duduk-duduk di meja makan, lalu tiba-tiba di sini terasa dingin sekali dan seperti meretak.” Seul menyentuh bagian dadanya. “Permataku, dia redup dan akhirnya tak bersinar. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan saat terbangun, ekorku sudah tidak ada. Eomma, aku ... tidak akan mati, kan?”

Mi Ho tak tahan melihat wajah pucat Seul. Dia juga tak tahu harus berkata apa. Dia segera menggenggam tangan putrinya dan berkomentar, otomatis, tentang betapa dinginnya tangan itu. Mi Ho juga menyeka keringat dingin di dahi Seul. Dia tak menjawab pertanyaan Seul, sementara Dae Woong terdiam berpikir. Dae Woong harus mencari tahu jawabannya.

Dae Woong bergegas menemui Profesor Park di rumahnya, tak peduli berapa jauh letaknya itu. Sepanjang jalan, sambil menyetir, dia terus terbayang wajah pucat putrinya yang begitu menyayat hati, juga wajah panik istrinya yang menyakitkan—persis 16 tahun lalu, saat kehamilan begitu menyiksanya. Seperti saat itu, Dae Woong akan menyelesaikan semua kegundahan ini.

Meski sudah lewat tengah malam, Profesor Park tetap menerima kedatangan tamu. Dia terkejut melihat kedatangan Dae Woong yang tiba-tiba dan mendengarkan cerita paniknya di ruangan utama, bersama secangkir minuman hangat. Dae Woong tak menyentuh minuman itu sama sekali. Dia ingin jawaban.

Profesor Park bercerita, “Sebenarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu aku memikirkan itu, karena Na Wi. Anak itu mungkin sudah mati, jika tidak aku hentikan. Dia ... merasa bersalah pada anak kalian.”

Dae Woong tak mengerti.

“Apa kau tahu Seul meminjamkan permata rubahnya pada Na Wi?” tanya Profesor Park. Dari cara Dae Woong terdiam, Profesor Park tahu Dae Woong tidak tahu tentang itu. Dia melanjutkan, “Agar sakit yang Na Wi rasakan saat kematian ekornya berkurang, Seul meminjamkan permata rubahnya. Selama ini, permatanya ada pada Na Wi dan sesuatu yang aneh terjadi. Seperti yang mereka inginkan, rasa sakit Na Wi berkurang bahkan hilang. Tapi cahaya biru pada permata Seul terus meredup dan menghilang saat kematian datang.”

“Ya, Seul juga bilang begitu tadi,” Woong menambahkan, “dan saat kulihat, permata itu benar-benar tidak bercahaya lagi.”

Profesor Park menghela napas dan berpaling sebentar dari mata Dae Woong yang terus menagih jawaban. “Kurasa, permata itu telah rusak,” ucapnya, dengan berat hati.

“Apa?” Dae Woong tidak ingin percaya itu.

Kali ini Profesor Park menarik napas dalam-dalam. “Aku bersalah. Aku sama sekali tidak pernah memperkirakan ini. Mereka adalah es dan api. Meski es bisa mencair karena api, tapi api itu terlalu kecil untuk berjuang sendirian melawan permata es yang terbentuk secara alami dan kuat di alam liar. Karena itu, cahayanya terus meredup dan menghilang. Kemudian ... kemudian semua kemampuan: kekuatan, pendengaran, penglihatan, dan lainnya, akan ikut menghilang secara perlahan.”

Dae Woong ingin Profesor Park menghentikan penjelasan mengerikan ini, tapi dia tidak bisa berhenti di sini. “Jadi, permatanya rusak?” tanyanya, dengan nada memohon.

Dengan berat hati, Profesor Park mengiyakan. 

Dae Woong tersentak. Dia tak berkata-kata.

Profesor Park memberi harapan, “Dia bisa bertahan dengan permata es milik Na Wi.”

“Benarkah?” Dae Woong kembali memiliki harapan.

“Tapi sebagai gantinya, Na Wi akan mati.” Profesor Park amat menyesalkan itu. Katanya, “Keadaan mereka sekarang ini menjadi seperti keadaanmu dan Mi Ho waktu itu.”

Untuk sesaat, kesadaran Dae Woong teralihkan. Dan tiba-tiba dia bangkit dari sofa. “Aku tak peduli, yang penting putriku selamat,” katanya, lalu bergegas tanpa permisi.

Profesor Park tak mencegah kepergian Dae Woong yang penuh emosi itu. Dia mendesah untuk semua ini, dan desahannya terpotong oleh kemunculan Na Wi di daun pintu kamar miliknya. Anak itu tersenyum dengan sedih. Dia berkata, “Gyosunim, saya akan kembali saja ke Jepang. Saya ingin, tempat kelahiran saya menjadi tempat kematian saya pula. Terima kasih untuk selama ini, dan semoga bahagia selalu. Permisi.”

MY BOYFRIEND IS A GUMIHO Where stories live. Discover now