Wanda membulatkan bibirnya, "Wah. Bukannya seharusnya kamu memarahi atau bahkan lebih parahnya memecat pegawai hotel yang lalai itu?"

Bryant mengecup kening Wanda. "Tidak. Aku malah harus berterima kasih padanya karena telah membawamu padaku." Kalimat itu membuat pipi Wanda bersemu merah, telinga dan wajahnya juga menghangat. "Apa kamu sama bersyukurnya denganku?" tanya Bryant.

Wanda menarik tangan Bryant yang sedari tadi menggenggamnya erat menuju dada bagian kiri, "I'll say it with my heartbeat." Wanda membiarkan Bryant merasakan debaran jantungnya yang kencang. Ingin mengungkapkan secara tidak langsung bahwa pria itu berpengaruh besar bagi dirinya. Bahwa ia menyukai atau bahkan telah mencintai Bryant.

Tidak lama kemudian Wanda menatap Bryant lamat-lamat. "Bagaimana denganmu?"

Bryant menjawabnya dengan ciuman dalam yang penuh perasaan.

***

Wanda tengah menandatangi halaman pertama novel yang dibawa oleh pegawai kantor penerbitnya ke Tower A, sesuai dengan apa yang disarankan oleh Bryant. Saran Bryant sungguh mengurangi beban pikiran penerbitnya karena jadwal terbit masih bisa mengikuti jadwal yang sudah dibuat.

Ia menggoreskan tinta di atasnya dengan pikiran yang juga sama sibuknya. Pikirannya berkelana ke mana saja, tidak ada pada tempatnya. Ia bahkan mengabaikan Bryant yang sedari awal duduk di sampingnya sambil membaca proposal kerjanya juga. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, karena nyatanya Bryant juga sibuk dan harus menyelesaikan banyak hal hari ini.

Meskipun tangannya tetap bekerja sebagaimana mestinya dan terus bergerak konsisten menandatangani halaman novel, pikiran Wanda selalu berada di saat di mana Bryant tidak mengatakan kalimat yang paling ditunggunya. Bryant tidak mengatakannya. Benar-benar tidak mengatakannya!

Bryant tidak mengatakan kalimat yang tentunya akan membuatnya berdebar-debar, bersemu merah, merinding karena bahagia, serta membuat kupu-kupu terbang dalam perutnya.

Hal yang membuat Wanda goyah karena penuh akan persepsinya sendiri mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Meskipun, jujur saja, ia sendiri juga tidak mengungkapkannya sehingga seharusnya sah-sah saja bagi Bryant untuk tidak mengatakannya juga. Tapi, bagaimanapun juga ia adalah seorang wanita.

Dan wanita butuh kalimat itu agar tidak ragu, goyah, cemas, dan segala kata yang memiliki arti serupa.

Astaga. Benar-benar menyebalkan! Wanda menggerutu dalam hati dengan masih saja menandatangani kertas di hadapannya, yang berbeda hanyalah tekanan bolpoinnya. Tekanannya semakin keras dan dalam sehingga tinta yang keluar jugalah semakin tebal.

"Sayang," Bryant menarik bolpoin keluar dari celah tangan Wanda. "Kamu ingin melubanginya?"

Wanda tersadar kemudian tersenyum. "Tidak. Hanya tidak sengaja." Wanda kembali tenggelam dalam pikirannya. Bagaimana jika dirinya mengungkapkan perasaannya terlebih dulu pada Bryant? Tidak. Seharusnya pria yang mengatakan kalimat itu terlebih dulu.

Tapi, bagaimana jika ia harus menunggu seribu tahun lamanya agar dapat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bryant jika sebenarnya Bryant juga tengah menunggunya untuk mengungkapkan kalimat itu?

Atau yang lebih buruk, Bryant tidak mengungkapkannya karena tidak menyukainya?

Astaga! Daripada pusing sendiri, lebih baik ia mengatakannya sekarang. Lebih baik ia memuntahkan kalimat yang terdiri dari tiga kata itu pada Bryant. Jika dipikir-pikir kembali dari pertengkaran mereka tadi, sepertinya ada benarnya juga bagi Wanda untuk mengungkapkan perasaannya terlebih dulu.

Wanda membulatkan keputusannya kemudian memutar badan menghadap Bryant yang sudah sedari tadi menghadapnya. Bryant tersenyum tipis seolah memberi kesempatan kepada Wanda untuk membicarakan apa yang ada di dalam pikirannya.

Weddings' SmugglerDove le storie prendono vita. Scoprilo ora