sembilan

63.6K 5.5K 117
                                    

"Itu tidak ada di perjanjian kita," tolak Wanda, ia berusaha melepas pelukan mereka berdua agar bisa menatap wajah Bryant saat berbicara.

"Akan kutambahkan sekarang juga, dan kita akan menandatanganinya malam ini. Bukannya wajar suami istri menyentuh satu sama lain sesuai pemintaanmu dan tidur di satu kamar sesuai persyaratanku?"

"Aku tidak mau, aku tidak setuju," tolak Wanda. Ia berusaha lepas dari pelukan erat dan hangat milik Bryant. "Aku tidak bisa dipaksa."

"Tidak akan kutepati." Bryant semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Wanda, "Bukannya kalian para wanita suka pria pemaksa? Akan kukabulkan."

"Tidak seperti ini! Kamu tidak mengerti yang kumaksud, yang kumaksud bukanlah seperti ini," jelas Wanda frustasi. Bryant menyalah artikan perkataannya.

Bryant terkekeh. "Jangan remehkan aku. Aku mengerti apa yang kukatakan, berpikir lebih dalam dari apa yang keluar dari bibirku, dan menyadari segala sesuatu yang terjadi lebih dari yang kamu tahu."

***

Wanda membelalakkan mata sesaat setelah bangun dari tidur sorenya. Bukan karena ia bangun terlalu sore sehingga terkejut melihat langit yang sudah gelap, bukannya terang lagi. Tapi karena kamarnya kosong melompong! Hanya ada kasur, bantal, guling, selimut, dan ya... dirinya sendiri. Kemana semua barangnya? Apakah ia masih berada di alam mimpi?

Wanda segera menepuk kedua pipinya dan malah mendapat rasa sakit yang samar-samar. Jujur saja, Wanda sering berimajinasi dan malah merasa itu seperti sungguh terjadi sehingga ia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang imajinasi. Jika ini bukanlah mimpi ataupun imajinasinya, maka ini berarti Bryant telah merealisasikan kata-katanya tadi pagi!

Astaga! Kenapa Bryant menjadi seperti ini? Tidak bisa diprediksi.

Wanda segera turun dari ranjang lalu berjalan cepat sambil menyeret sandal rumah berbulunya menuju kamar Bryant. Ia mencoba memastikan sendiri apakah benar barang-barangnya ada di kamar pria itu.

Baru setengah jalan menuju kamar Bryant, ia mendapati Bryant duduk di sofa ruang tengah dengan secangkir kopi yang sedang mengepulkan asap. "Hai, Sayang," sapa Bryant dengan telapak tangan yang terangkat rendah. Ia meminta Wanda untuk duduk di seberangnya, "Sini."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Wanda mengikuti keinginan pria itu, meski masih dengan wajah yang campur aduk antara kantuk dan kesal. "Kenapa kamarku kosong? Kamu yang perintahkan? Apa maksudmu?" tuduh Wanda langsung.

Bryant mengangkat telapak tangannya, memberi tanda kepada Wanda untuk menunggu sebentar. "Tunggu."

Wanda kira ada apa, namun yang terjadi selanjutnya membuat kepalanya mendidih. Bryant, suaminya ini, sedang menyesap kopi di hadapannya, saat ia sedang serius bertanya kepada pria itu! Mengesalkan sekali!

"Barang-barangmu sudah pindah ke kamarku, sesuai perjanjian kita tadi pagi," Bryant mengangkat kedua alisnya, seperti apa yang baru keluar dari mulutnya adalah hal yang lumrah dan memang seharusnya terjadi.

"Tapi aku tidak bilang setuju! Kamu tidak bisa berlaku seenaknya!" protes Wanda. Ia ingin sekali memukul meja di depannya ini ataupun menyiram kopi ke wajah Bryant seperti drama dan novel yang pernah dibacanya. Namun, drama tetaplah drama dan novel tetaplah novel. Pada kenyataannya, memukul meja akan membuatnya kesakitan. Sedangkan menyiram kopi ke muka Bryant sangat berbahaya mengingat kopi itu masih mengepulkan asap.

"Aku tidak peduli."

Pemaksa sekali suaminya ini. Pikiran itu melintasi pikiran Wanda dan seperti tersambar petir, Wanda tersadar. Bukankah ini yang ia harapkan dari Bryant tadi pagi? Menjadi cuek dan pemaksa? Astaga! Ia termakan omongannya sendiri.

Weddings' SmugglerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang