[22] Merenggang

77.8K 3.3K 13
                                    

Give me your vote and comment

*****&*****

Empat bulan berlalu, semua mulai berjalan berbeda. Ray terlalu sibuk dengan kuliah beserta kegiatannya, Sinta terlalu sibuk mengurusi kembar. Seperti saat ini, baru Sinta mau makan si kembar sudah menangis lagi. Sinta selalu menjadi tidak tenang untuk melakukan sesuatu.

"Non makan aja. Biar saya yang mengurus kembar." Bi Ina, pembantu yang satu bulan ini sudah bekerja bersamanya menawarkan diri.

"Makasih, Bi," ucap Sinta. Bi Ina pergi ke kamar kembar. Sinta pun mulai memakan makanannya. Dia akhirnya menemukan susahnya menjadi seorang Ibu. Tapi, Sinta tak pernah menyesal. Ini sudah jadi takdirnya.

Sinta kembali ke kamar setelah selesai makan. Dia tersenyum tipis. Dia jadi membayangkan bagaimana dulu dirinya karena keadaan kembar dengan dirinya hampir sama. Sinta bertanya tanya, apa Safitri dulu pernah merasa menyesal ketika Sinta rewel? Mengingat Safitri, dia menjadi sedih. Mamanya, neneknya, maupun Papa tirinya tak ada satupun yang mengunjungi. Jika Julian, dia tak mempertanyakannya. Dia tahu jika Papanya berada di luar kota.

"Kapan Mama mau maafin Sinta?" Sinta bergumam lirih. Air matanya menetes. Sekelebat bayangan caci maki Safitri kembali melintas di otak Sinta.

"Non kenapa nangis?" Bi Ina mendekati Sinta yang sedang terduduk di samping ayunan kembar sembari menangis.

"Nggak papa kok, Bi. Sinta cuma lagi kangen keluarga aja."

"Oh, begitu toh. Udahlah, Non. Jangan nangis. Malu tahu sama kembar." Sinta tersenyum kecil. Dia memutuskan untuk melihat ponsel. Tak ada satupun pesan dari Ray. Sinta tersenyum miris. Akhir-akhir ini, Ray jarang sekali meminta foto kembar. Biasanya Ray akan rewel meminta foto kembar.

"Boleh gak sih aku berpikiran negatif?" Sinta mengusap wajahnya kasar. Sinta sudah menebak, perlahan semua akan berubah seiring berjalannya waktu. Entah itu hati maupun sifat. Makanya, Sinta tak mau mencintai Ray.

***

Sinta terus menimang Diva yang tak mau berhenti menangis. Bi Ina sudah pulang satu jam yang lalu. Dia tidak bisa meminta bantuan. Dia pun berusaha menenangkan putrinya dengan berbagai cara. Namun, putrinya tak ada yang kunjung menghentikan tangis. Tangisnya bahkan kian kencang. Sinta menjadi sangat bingung.

"Ya Allah, badan kamu anget." Sinta memegang dahi Diva dengan punggung tangan. Sinta langsung menghubungi Ray untuk memintanya segera pulang. Tapi, telfon tak diangkat. Sinta menjadi panik sendiri. Ditambah Dava yang mulai ikut merengek.

"Aduh, Dava ikutan panas." Sinta semakin panik. Kedua anaknya menangis. Ponselnya tiba-tiba berdering. Sinta melihat layar ponsel. Nama Nicholas terpampang disana.

"Hal-,"

"Tolongin aku Nic, kembar badannya anget. Aku mau bawa ke rumah sakit, tapi Ray belum pulang. Aku hubungi gak bisa. Tolong, Nic. Sekarang kembar lagi nangis."

"Oke, gue kesana sekarang. Kebetulan gue lagi deket komplek rumah lo. Lo tunggu disana ya."

Sinta bersyukur Nicholas telfon disaat yang tepat. Sinta pun kembali menenangkan kembar. Dia menggoyangkan ayunan kembar supaya kembar berhenti menangis. Tapi, memang mereka sedang sakit. Jadi, mereka tentu semakin rewel. Sinta menjadi semakin panik karena Nicholas pasti butuh waktu lama untuk sampai. Belum lagi perjalanan menuju rumah sakit.

"Sinta," panggil Nicholas setelah sampai. Sinta bersyukur karena Nicholas datang dengan cepat.

"Nic," lirih Sinta.

Married By AccidentWhere stories live. Discover now