16. Ingin Segera Menikah

32.5K 2.8K 136
                                    

catatan penulis: untuk kalian yang begitu insecure soal jodoh, bab ini... kutuliskan untukmu.

***

Pagi itu, kau buka jendela kamarmu.

Angin bertiup lembut. Sehelai daun kering melayang di udara, jatuh di kusen jendelamu. Aroma pagi menjelajah seisi kamarmu, wanginya seperti tanah kering yang dibasahi hujan dan pohon-pohon yang dibasahi oleh embun. Matahari terbit lebih cerah, sinarnya menelusup ke dalam kamarmu, menyorot tempat tidur yang masih berantakan dan dirimu yang berbaring lagi di balik selimut. Secangkir cokelat panas telah menanti, liukan uapnya memanggilmu.

Ini adalah hari yang baru, tanpa dirinya, tanpa air mata, tanpa luka basah.

Beberapa hari terakhir, kau melahap buku ini, menelusuri setiap halamannya penuh perasaan. Perlahan, kau menyadari hubunganmu di masa lalu adalah kesalahan yang tak ingin kau ulangi lagi. Perlahan, kau menerima kesalahanmu. Perlahan, kau menerima kepergiannya. Perlahan, kau memaafkan dirimu. Perlahan, kau mengubah keinginanmu; keinginan perjalanan cintamu.

Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.

Memang, kau belum sepenuhnya bersih dari patah hati, tetapi kau memilih bertahan dan terus melangkah. Seperti, tadi malam, saat kau menelusuri Instagram dan menemukan fotonya bersama seseorang baru, timbul perih di hatimu, layaknya cubitan kecil nan tajam, gigitan semut merah, dan tusukan jarum lancip. Tetapi, ya sudah, rasa sakit itu tak lagi bertahan lama.

Untuk menghibur dirimu, kau akan mengunjungi akun-akun lain, memandangi foto-foto mesra pasangan  yang telah menikah. Genggaman tangan yang halal, jalan-jalan berdua yang halal, pelukan hangat yang halal, seluruh interaksi yang halal. Di akun-akun itu, kau berimajinasi dan bergumam dalam hati…

Nggak bakal pacaran lagi. Langsung nikah aja.

Seperti orangtua yang bangga, aku tersenyum. Telah kau lepaskan orang-orang yang tak berhak dipertahankan. Tak lagi kau gantungkan kebahagiaanmu pada cinta-cinta yang tak pasti. Namun, senyum itu tak menetap lama. Sejujurnya, aku agak khawatir.

Aku khawatir kau masih menganggap cinta adalah sumber utama kebahagiaan. Aku khawatir kau masih menggantungkan harapan dan masa depanmu pada cinta, begitu tinggi, seperti dulu. Aku khawatir pernikahan hanya jadi kamuflasemu untuk merasakan cinta lagi.

Bukan, bukan berarti kau tak boleh menikah.

Itu adalah keinginan yang baik, aku mengapresiasi itu. Dari cinta yang tak pasti menuju cinta yang lebih pasti. Dari sesuatu yang dilarang menuju sesuatu yang tak dilarang. Bukankah itu sebuah kebaikan? Aku mengapresiasi itu. Bahkan, jika kau seorang Muslim, pernikahan adalah sebuah ibadah, bentuk penyempurnaan separuh agamamu, satu dari sekian cara agar kau menjadi hamba yang lebih baik.

Ini adalah keinginan yang baik, kuulangi itu. Namun, yang tak baik adalah motivasi yang membelakangi keinginan itu.

Apakah kau ingin menikah hanya karena merindukan rasa indahnya mencintai dan dicintai?

Apakah kau ingin menikah karena berpikir kebahagiaan permanenmu ada di sana?

Apakah kau ingin menikah hanya karena kau takut kesepian?

Apakah kau ingin menikah hanya karena tak sabar menunjukkan pada dunia bahwa kau bebas bermesraan dengan pasangan halalmu?

Apakah kau ingin menikah karena kau telah memberi syarat kepada dirimu, "Kalau udah nikah, baru aku bakal begini-begitu?"

Jadi, untuk apa kau ingin menikah?

Sudahkah kau jujur kepada dirimu sendiri?

Sekali lagi, bukan, bukan kau tak boleh menikah. Itu adalah keinginan yang baik, ibadah yang direkomendasikan. Namun, ratusan halaman telah kita lalui bersama, begitu banyak pelajaran telah kita koleksi sepanjang perjalanan. Saat melepasnya dari hubungan pacaran, larangan agama dan rida Tuhan jadi alasan utamamu. Namun, saat ingin menikah, mengapa rasa ingin mencintai dan dicintai mendominasi pikiranmu? Mengapa ekspektasi dan harapan terhadapnya lebih banyak menguasai pikiranmu? Mengapa pikiran-pikiran seperti hidupku-bakal-lebih-bahagia-kalau-sama-dia meliputi seisi kepalamu? Mengapa bukan rida Tuhan yang berada di barisan terdepan pikiranmu?

Tidakkah ini... terdengar seperti dirimu dulu?

Ingin berpacaran karena ingin tahu rasanya mencintai dan dicintai. Ingin berpacaran karena ekspektasi dan harapan terhadapnya. Ingin berpacaran karena mengira hidupmu bakal lebih bahagia dengannya.

Sekarang, kau ingin menikah karena rindu rasanya mencintai dan dicintai; ingin menikah karena ekspektasi dan harapanmu terhadap pernikahan; ingin menikah karena mengira hidupmu bakal lebih bahagia bila bersamanya.

Bukankah motivasinya tak jauh berbeda dengan masa-masa berpacaran dulu?

Tarik napas sejenak. Tersenyumlah sedikit.

Karena aku ingin mengucapkan selamat. Selamat karena kau telah melakukan perkembangan yang signifikan. Selamat karena kau telah berhasil melawan hatimu dengan susah payah. Selamat karena kau telah berhasil melepas apa yang harus dilepaskan. Dan, selamat karena kau telah tiba di halaman ini dan menyadari:

Jangan sampai cinta menjadi agamamu. Jangan sampai dia menjadi tempatmu bertumpu. Jangan sampai hidupmu hanya untuk cinta dan dirinya. Sedetik setelah kematianmu, dia sudah tak bisa membantumu.

Ingin menikah, silakan, itu baik. Perbaiki niat, itu yang tak boleh kau lupakan.

Selamat berjuang, untuk dirimu yang lebih baik.

***

c

atatan penulis:
teman-teman pembaca, terima kasih banyak telah berjuang untuk buku ini. membelinya, membacanya, menuliskan review, menyematkan vote dan komen di Wattpad, terima kasih banyak. belum sebulan terbit, jika kita tak pernah jatuh cinta cetak ulang. bisa segera jemput ke Gramedia atau toko buku online favoritmu!

Jika Kita Tak Pernah Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang