9 ǁ Langkah-Langkah Kecil

Magsimula sa umpisa
                                    

Sejujurnya, Simfoni ingin cepat-cepat pergi dari sini. Ia tidak ingin terjebak hujan lantas telat masuk kelas bimbingan belajar. Tetapi, Simfoni tahu, dia tidak bisa pergi begitu saja. Setidaknya, tidak sebelum mengucapkan sesuatu pada Beryl.

Namun, bagaimana? Apa yang harus Simfoni ucapkan? Dia bingung harus berkata apa. Laki-laki itu memang menolongnya, tetapi dia sama sekali tidak berucap apa-apa. Belum lagi, raut dingin yang ia tampilkan, semakin membuat Simfoni merasa takut juga segan.

Simfoni meremas erat tali tasnya yang berada di pangkuan, menjadi gelisah sendiri. Tanpa sadar, perempuan itu terlalu lama berpikir hingga hujan yang sejak tadi ditakutkannya kini turun juga. Deras. Tanpa aba-aba.

Secara refleks perempuan itu mendongak. Tatapan nanarnya terpancar begitu saja. Beryl di sampingnya masih anteng merokok. Tempias-tempias hujan yang mulai mengenai keduanya membikin Beryl berdecak.

"Mau ke mana?" Secara refleks Simfoni bertanya ketika Beryl tiba-tiba berdiri. Entah kenapa, dia justru takut ditinggal sendiri di sini. Meski tampaknya pemilik warung baik, tapi dia segan. Simfoni tidak mengenalnya. Dan omong-omong, pemilik warung sudah kembali sebelum hujan turun dengan derasnya tadi.

"Pindah," jawab Beryl singkat.

"Oh...." Simfoni kembali menunduk dan memainkan tali tasnya.

"Lo juga. Di sini kecipratan." Meski diucapkan sambil lalu—karena Beryl langsung perjalan menuju bangku panjang yang berada tepat di depan warung, yang letaknya agak lebih dalam, Simfoni masih mampu mendengarnya. Laki-laki itu lalu berbicara pada pemilik warung. Simfoni masih bergeming di tempat, tetapi begitu tempias hujan semakin banyak mengenainya, ia akhirnya mengikuti Beryl walau ragu.

"Biasa kan, Ber?"

Suara pemilik warung terdengar begitu Simfoni mendekat. Perempuan itu duduk dengan canggung di sebelah Beryl. Jarak yang tercipta di antara mereka lumayan jauh. Simfoni sengaja mengambil jarak, tidak mau duduk terlalu dekat dengan laki-laki itu. Di luar hujan masih turun begitu deras.

"Iya." Beryl mengambil satu bungkus snack dan membukanya. "Lo kalo lapar pesan makan aja." Simfoni tidak tahu apakah kalimat acuh tak acuh itu ditujukan untuknya atau bukan, karena Beryl mengucapkannya tanpa menoleh pada Simfoni. Meski begitu, perempuan itu tetap mengangguk. Lagi pula, tidak ada siapa pun lagi di sini. Tidak mungkin juga kalimat itu ditujukan untuk pemilik warung, bukan?

Aroma khas mie instan menggelitik indra penciuman Simfoni, lantas setelahnya Mbak Titin muncul dengan semangkuk mie yang langsung ditaruh di hadapan Beryl. Sebelum kembali masuk, ia sempat menawari Simfoni ingin memesan apa, yang Simfoni balas dengan gelengan, karena ia memang tidak lapar. Berbeda dengan Beryl yang langsung memakan mie dengan lahap. Tanpa sadar Simfoni justru memperhatikannya.

"Lo kalo mau, pesan sendiri. Jangan malah ngeliatin gue."

Simfoni gelagapan sendiri. Perempuan itu buru-buru memalingkan wajah. Ada hangat yang menjalar di permukaan pipinya. "Eng—enggak."

"Enggak apa? Enggak mau apa nggak ngeliatin gue?"

Simfoni semakin enggan melihat Beryl, hingga membuat laki-laki yang duduk di sebelahnya itu semakin tergelitik untuk menggodanya. "Sini kalo mau liatin gue, deketan aja jangan jauh-jauh."

Simfoni merapatkan bibir, sedang pipinya semakin bersemu. "Ap—apa? A—aku nggak ngeliatin kamu."

Beryl berdecih, tetapi diam-diam mengulum senyum. Ia lalu lanjut makan. Membiarkan Simfoni berkompromi dengan rasa malunya.

Untuk beberapa waktu, hanya suara guyuran hujan yang mengisi sunyi di antara mereka, hingga Simfoni memutuskan untuk memberanikan diri memanggil laki-laki itu.

Moonstruck | √Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon