Chapter 24

1.4K 180 19
                                    

Brylian Point of View

Cara Nando menatap Za sudah berubah sejak kami sering bersama lagi. Ada satu dua sorot tajam yang begitu dalam, sama seperti aku dan anehnya aku tidak ingin Nando melakukan hal yang sama sepertiku pada Za. Aku ingin hanya aku yang memandang Za semacam itu. Tapi siapa juga aku ini? Sahabat Za dan Nando yang tidak ingin persahabatan kami hancur. Setidaknya untuk saat ini, sebab hati siapa yang tahu.

Saat ini mungkin aku masih bisa mengendalikan, tidak tahu kalau besok. Seorang Dilan saja bisa jatuh cinta pada Milea dalam waktu singkat, paginya belum kemudian sorenya membumbung tinggi. Maka aku pun bisa lebih kilat dari Dilan, sebab hati bukan aku yang mengatur dan memiliki, melainkan Tuhan atas kuasa-kuasa agung-Nya.

Ernando pasti juga menyadari itu, ada sesuatu di antara kami seperti yang selalu Zico suarakan dengan lantang. Dia kalau sedang jadi kompor meleduk lebih mirip tokoh politik Korea menyuarakan janji-janji manisnya.

Sebenarnya sebelum itu, sebelum Zico sering kali mengingatkan kami, aku sudah sadar itu karena Kak Kevin. Aku pernah cerita malam-malam tentang apa itu cinta dan jatuh cinta, bagaimana jatuh cinta lantas ciri-ciri semacam apa jatuh cinta itu? Dan malam itu Kak Kevin hanya bilang, "kamu pasti merasakan itu suatu saat pada Za. Nando pun punya kesempatan yang sama untuk merasakan itu pada Za. Dan Za punya kesempatan yang sama untuk merasakan itu pada salah satu diantara kalian."

Mulai malam itulah sebenarnya aku sadar tapi lebih sering hanya bertanya-tanya. Bagaimana jika cinta benar membuat persahabatan ini lenyap? Bagaimana jika cinta, jatuh cinta dan segala jenisnya itu yang membuat segitiga ini menjadi mengerikan? Bagaimana dan bagaimana? Ketakutan itu ada, sampai aku batasi jantungku agar tidak berdegup untuk Za.

Za memang perempuan yang tidak bisa didapatkan sembarangan, dia cukup cuek untuk urusan percintaan, dia cantik, pemikiran unik, mencintai negeri ini. Dia yang terbaik meskipun banyak perempuan berusaha mendekatiku juga. Sayangnya, kenyamanan bersama Za tak pernah aku temukan dengan perempuan lain. Dan aku tahu Ernando pasti juga merasakan itu.

Bagaimanapun nanti, bagiku Ernando dan Za adalah orang terpenting aku tidak mau kehilangan mereka, mimpi-mimpi kita sama dan menguatkan. Tanpa mereka seperti Habibie kehilangan Ainun, dikatakan separuh jiwaku pergi.

"Kantin yuk," ajak Za begitu istirahat kedua sudah memberi tanda.

Pada istirahat pertama tadi kita sudah berniat ke kantin, tapi saking banyaknya kakak kelas, adik kelas dan teman-teman yang datang minta foto jadi nggak bisa kemana-mana. Dan sekarang Za pasti sudah tidak bisa menahan laparnya. Selain kebo, dia itu ahlinya makan, nggak makan nasi yang banyak gitu sih, pokoknya mulutnya harus gerak, harus ada yang masuk, ngemil lah istilahnya. Bagusnya itu badan nggak melar, bayangin saja kalau melar? Bahunya pasti nggak sekeras sekarang ini. Tambah nyaman pula itu bahu untuk sandaran aku dan Sutar.

"Yuk lah," sahut Ernando berdiri lebih dulu.

"Eh Rifai, ikut nggak? Kalau nggak ikut boleh nggak pinjam dulu?" Tanyaku pada Rifai yang sedang bermain ponsel.

Aneh dia mah, pacarnya satu kelas janjian keluar kelas aja pakai chat WhatsApp. Masih malu-malu meong pasti, yang kudengar dari Za kan dia belum lama ini jadian, secepat kilat gerak Rifai. Wajahnya mungkin standar, lebih ganteng aku, tapi silat lidahnya lebih ahli dia. Ha ha ha.

"Pinjem apa? Uang? Masa' juara Asia Tenggara, ganteng pula mau ke kantin ngutang? Bonus pasti kan banyak."

"Ye kagak ngutang juga aku, Rif. Pinjem muka kamu itu, capek aku diajak foto-foto terus. Makan aja pasti nggak bisa menikmati, garam rasanya asin dilidahku jadi asem."

"Ha ha ha. Risiko juara juga mau gimana lagi? Udah sana ke kantin, kasian Za tuh gentongnya kosong."

Tuh kan Rifai saja tahu betapa gentongnya si Za. Ah, tapi Bagaimanapun Za, dia tetap menarik bagiku dan Ernando.

TriangleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora