Chapter 48

920 142 24
                                    

Brylian Point of View

"Jika segitiga itu ialah segitiga sama sisi. Besar sudut dan panjang sisi ketiganya sama, tiada beda. Bisakah segitiga ini hanyalah segitiga sama kaki yang kedua sudutnya sama, tapi satu sudut lagi berbeda. Panjang dua sisinya sama tapi satu lagi berbeda. Kuharap dua yang sama itu adalah kita."

Aku menoleh pada Nando yang telah berhasil merebut ponselku secara paksa. Kenapa dia ucapkan itu? Dia tidak tahu bagaimana menyesalnya dia nanti seperti aku waktu itu.

"Sutar!" Pekikku.

"Jika Brylian jatuh cinta denganmu, bahkan kami tiada beda," tambahnya menatapku penuh amarah tapi aku tahu, ada kejujuran dari matanya.

Yang di seberang diam, Ernando pun lantas diam.

Aku kembali merebut ponselku dan menutup telepon itu begitu saja tanpa satu patah, dua patah kata sebagai perpisahan. Bahkan salam pun tidak ada.

Memejamkan mata sejenak, amarahku bergejolak. Aku telah salah mengungkapkan perasaan, aku menyesalinya dan selalu takut kehilangan. Kenapa Ernando harus mengulang kesalahan yang aku perbuat? Kenapa hal yang paling aku sesali harus dia lakukan juga.

Mungkin sedikit kaget, tapi tidak akan terlalu kaget, aku tahu selalu ada tatapan hangat untuk Za dari Nando. Dan aku yakin, kemungkinan dia jatuh hati pada Za itu sama dengan kemungkinan aku bisa jatuh hati pada Za pula. Yang membuatku sedikit tersentak adalah keberaniannya mengungkapkan dan ya kenyataannya dugaanku memang benar.

"Arghhhhhh!" Lenguhku keras, melempar ponsel jutaan rupiah itu menyentuh dinding. Porak-poranda, lepas beberapa bagiannya. Aku lempar sekeras Nando melempar umpan ke arah kami biasanya.

Aku lihat Nando menahan semua amarahnya di rahang bawah, aku tahu, terlebih matanya mulai memerah. Satu detik melihatnya, satu detik pula memejamkan mata ketika dunia terasa begitu temaram.

"Kenapa harus dimatikan? Kenapa, Bry? Biar kita perjelas semuanya!"

"Aduh, mampus, pecah beneran nih perang dunia ke enam," gumam Zico mengintip dari depan pintu yang terbuka.

Sejak Nando masuk, kaget mendengar ucapanku, dia memang tidak menutup pintunya.

"Astaghfirullah! Keknya kalian harus berkepala dingin," kata Bagas baru saja datang dan terbelalak melihat ponselku hancur.

"Keluar kalian!" Pekik Nando membuat mereka tak percaya.

Jika kalian tahu Nando, dia punya pita suara yang halus, bukan berarti dia tidak bisa memekik, tetapi suaranya selalu halus. Dia bisa berteriak, keras, tetapi seperti tidak ada riak di tenggorokannya, benar-benar halus tanpa hambatan. Kali ini semacam ada riaknya, ada otot-otot yang membuat pekiknya terasa kasar.

"Ndo, santai, Ndo!" Zico malah berusaha mendekat, tepat saat Rendy datang.

"Lo keluar! Ini urusan gue sama ini anak!" Menunjukku dengan telunjuknya.

Nando bukanlah seseorang yang setiap kali berbicara akan menggunakan telunjuknya dan aku juga bukan orang yang suka ditunjuk-tunjuk saat berbicara.

"Nggak usah nunjuk-nunjuk ya!" Aku mulai terpancing juga sejujurnya. Sesalku dalam banyak hal, amarah Nando, kejujuran Nando, semuanya membuat emosiku meninggi.

"Ya lo, kalau lo nggak mau diperlakukan kaya gini, lo harusnya nggak nusuk gue dari belakang, Bry!" Bentaknya tepat sepuluh centimeter di depanku.

Ada benda yang menghujam, menyakitkan, sepanjang kami berteman, kami selalu menggunakan aku dan kamu sebagai sebutan, bukan elo dan gue karena menurut kita itu terlalu kasar. Kami selalu menggunakan elo dan gue untuk teman-teman di Timnas. Tapi kali ini dia membahasakan dengan elo-gue. Itu semacam menyakiti secara halus.

TriangleWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu