Chapter 62

1.1K 153 15
                                    

Ernando Point of View

"Jadi gue nggak tahu kemana Za. Dia nggak ngasih tahu," lanjut Zico.

"Tapi lo nembak Za!" Bentak Brylian.

"Memang."

Aku menunduk, bagaimana Za bisa secepat itu membuat keputusan memilih Zico padahal sebelumnya dia menolak. Lantas kemana dia menghilang. 

"Dia pertamanya ngatain gue gila, tapi pada akhirnya dia mengerti, gue nggak main-main sama dia. Terus dia minta ngomong sama kalian, ternyata jawabannya langsung semacam itu. Dan kalian harus menerima, mau tidak mau."

"Tidak bisa gitu, Co. Harus ada penjelasan kenapa elo, dan kenapa mendadak? Lo pelarian doang karena kita berdua nembak dia atau emang lo yang memanfaatkan kondisi ini buat jadian sama dia?" Tuduhku entah ke mana pikiran ini akan bercerita.

Banyak hal rumit yang tak masuk akal, banyak hal pelik yang sejujurnya tidak ingin lagi aku ketahui. Tapi menghilangnya Za, jadiannya Za dan Zico yang mendadak, dan tentang perasaanku yang tak terbalas, semua itu ingin aku ketahui alasannya.

"Pelarian? Gue sama Za sudah cukup nyaman ketika pertama kenal," jelasnya malah mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. "Itu chat dia, dia bilang yang tadi seriusan."

"Apa maksudnya?" Tanya Brylian merebut ponsel Zico dari tanganku.

Zico menunduk. "Apalagi kalau bukan soal jawabannya. Dia jadian sama gue. Kalian harus dewasa dan menerima itu. Setiap cinta akan menemukan pemiliknya. Tapi tidak semua cinta bisa dipaksakan pelabuhannya. Jika patah, pergi dan cari yang baru. Begitulah cinta akan selalu tumbuh dan patah hingga dia temukan pemilik sebenarnya."

Aku diam.

Kupikir, dunia ini terlalu pelik hanya karena satu kata beribu makna, CINTA. Dalam setiap kondisi, cinta punya definisinya masing-masing. Dalam setiap masa cinta punya narasinya masing-masing dan bagi penikmatnya cinta bisa mempunyai makna yang berbeda. Belajar tentang cinta? Mungkin sampai di usia tua pun tak akan cukup.

"Udahlah, sekarang udah jelas semuanya, Za sudah milik Zico. Biarkan mereka nikmati masa remaja mereka lah. Cinta nggak selalu nemuin jawaban tepatnya, kalau bukan elo ya sudah, bertepuk sebelah tangan. Emang cinta cuma bicara tentang bahagia? Enggak kan? Kadang juga tentang lara," seru Bagus.

"Ehem, jomblo aja sok bicara cinta," sindir Supri yang datang mendekat. 

David memukul dia manusia yang sekarang cekikikan itu. Mereka berdua malah masih bisa bercanda ketika aku merasa berduka semacam ini.

"Bry, Ndo, kalian kan udah tahu jawabannya. Bisa nggak kalian nggak musuhan lagi?" Tanya David sejujurnya terdengar konyol. "Gila deh, besok tuh kita tanding. Lupain dulu bentar soal permusuhan kalian. Terima Za sekarang sudah sama Zico, kalian harus dewasa. Kalau mau musuhan terus karena cinta remaja lalu bagaimana dengan ungkapanmu soal cinta pada negara?"

Aku terdiam, Brylian pun sama.

"Oh iya, gue lupa. Sebelumnya Za nitip buat sampaikan ini sama kalian. Ingat kalau muara dari mimpi-mimpi kita adalah Indonesia? Ingat bahwa kita selalu bicarakan mimpi untuk Indonesia tanpa peduli sebuah rasa mengembang diantara kita? Masa itu indah sekali. Hanya cinta pada Indonesia."

Aku ingat sekali bagaimana Za selalu mengingatkan kami pada Indonesia. Sekedar menyaksikan awan putih bergerombol, sekedar merasakan angin bertiup, sekedar semacam itu aku sudah seperti didekap Ibu Pertiwi.

Zico berdiri, berlari entah kemana dan kembali membawa merah putih yang terlipat rapi. Mungkin dari kamar official, setidaknya merah putih itu selalu mengikuti entah kemana tim ini pergi.

TriangleWhere stories live. Discover now