Chapter 23

1.4K 174 36
                                    

Ernando Point of View

Mendapat ucapan selamat dari Semarang dan gambar love di sana tidak berarti apapun. Aku memang cukup tidak nyaman dengan adanya dia dalam hidupku. Dia bilang suka padaku tapi aku tidak bisa membalikkan itu. Hatiku masih cukup hambar, pikiranku masih cukup sesak oleh Za dan Brylian.  Ucapan yang paling sempurna atas keberhasilanku tak lain adalah dari Mama dan Papa, lantas dari keluarga Brylian dan keluarga Za, serta Za sendiri.

Menjadi juara kemarin menjadikan aku dan Brylian primadona, baru datang ke sekolah sudah banyak yang menunggui kelasku hanya untuk meminta foto. Ada rasa bangga ketika menerbangkan Garuda tapi ada rasa tidak nyaman ketika kehidupan pun ikut menjadi perbincangan. Beberapa teman sekelas bahkan menceritakan tentang persahabatan diantara kami ke media sosial pagi ini, jadilah kisah-kisah kami yang mereka ketahui sebagai konsumsi publik.

Belum lagi pagi ini, dalam upacara diadakan acara penyambutan khusus. Aku dan Brylian harus berdiri di depan menampilkan senyum. Jujur sakali lagi kami bangga, tapi selalu ada pula ketakutan jika saja kamu terbang terlalu tinggi. Kata Coach Fakhri, ketika masih kecil jangan diberi beban banyak tapi juga jangan dipuji terlalu banyak. Bahaya, masih rawan untuk terbang terlalu tinggi dan tumbang tidak bangkit lagi.

Usai upacara, ada pula tradisi kami diangkat-angkat, dilempar ke udara, semacam caleg yang baru saja menang.

"Wehhh wehhh, hati-hati, bos. Kalau jatuh ini wajah bisa nggak ganteng lagi," celetuk Brylian ketika teman-teman kami mengangkatnya ke atas.

Aku tertawa mendengarnya. Iya, percaya dia ganteng, semua fans mengakui itu.

"Kebanggaan Indonesia!" Teriak salah satu guru yang ikut mengangkatku.

Ah, euforia semacam itu tak terjadi hanya denganku, aku dengar sebelum upacara ini Sutan Zico juga mengalami hal yang sama. Baru sampai sekolah lansung dikalungi bunga dan diangkat-angkat sekolah.

"Ahh, gila pusing kepala," keluh Brylian berjalan bersamaku dari ruang kepala sekolah.

"Sama, pada kesetanan nih ngangkatnya kita," sambil memegangi kepalaku.

Kepala kami bertambah pusing ketika melihat Za duduk bersama Elang di tempat dudukku. Sudah peraturannya hari ini aku yang duduk bersama dengan Za? Kekanak-kanakan? Kata adil berlaku untuk siapapun. 

"Tuh anak masih berani aja ya? Minta ditendang kepalanya!" Brylian geram sendiri di sebelahku, di depan pintu kelas.

"Kamu yang tendang aku yang tangkap, nanti aku lempar ke kamu, terus aku tangkap lagi, gitu sampai si playboy amatir itu jadi playgroup amatir!" Seruku menggertak jari-jariku agar lemas.

"Bentar, bentar," Brylian menghentikan langkahku yang hendak mendekati Za dan Elang. "Playgroup itu sebelum TK kan?"

Aku menatap Brylian datar tapi kesal, itu kan nggak perlu dibahas lebih lanjut juga. Mau sebelum TK kek, mau sesudah SD kek, yang penting playboy bisa jadi playgroup.

Kembali melangkah dengan hentakan garang, membuat medali yang masih bergelantung di leherku ikut bergoyang. Brylian pun mengikutiku dari belakang, itu awalnya, sekarang dia malah lebih menggebu dan menyalip langkahku.

"Jalanmu kaya emak-emak lagi hamil, Tar!" Katanya dan langsung menggebrak meja di depan Elang dan Za.

Brakkk...

Emang jalanku semacam emak-emak lagi hamil? Macam mana rasanya hamil? Ah, tunggu, apa pula.

"Bry! Bikin kaget ah!" Keluh Za berdiri dari tempatnya tapi Brylian juga tidak peduli dengan itu. Dia lebih peduli ke Elang yang langsung diam saja.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang