Chapter 63

993 142 10
                                    

Brylian Point of View

Laga penyisihan grup telah kami selesaikan, menang dan imbang, tak terkalahkan. Tim kembali kondusif setelah rekaman suara Za membuatku merasa bersalah. Aku dulu berjanji pada Almarhumah Mama, apapun yang terjadi aku harus harumkan nama negara. Bahkan ketika Mama sakit, aku ikhlas tinggalkan Mama karena negara memanggil. Entah betapa kecewanya Mama jika saja aku benar-benar merusak tim ini.

Tetapi tidak sepenuhnya pula dapat diterima, sampai saat ini Za benar-benar menghilang tanpa kabar. Nomor ponselnya tidak aktif, nomor telepon Tante Halida dan Om Herman sering kali sibuk atau panggilanku dialihkan. Sepertinya Za memang sengaja pergi jauh dari kehidupanku. Nando sendiri mungkin merasakan hal yang sama, dia masih saja gelisah menatap ponselnya.

Sementara itu, Zico juga lebih sering membiarkan ponselnya di atas meja ketika diberi waktu 2 jam untuk memegang ponsel. Ketika aku tanya apa kabar Za, dia selalu jawab bahwa Za baik-baik saja aku harus tenang. Seolah dia selalu berhubungan dengan Za setiap hari, padahal yang kulihat tidak semacam itu.

Aku hanya perlu fokus satu kali lagi, kata Coach Fakhri, 90 menit menuju piala dunia U-17. Sungguh itu mimpi setiap pemain sepak bola, bisa membawa negaranya di kasta tertinggi sepak bola. Bukan hanya itu, jujur aku hanya ingin segera menyelesaikan tugas ini dengan baik lantas mencari Za dimana dia berada. Aku ingin minta penjelasannya, setelah itu mungkin cukup bagiku menerima hubungan Za dan Zico.

Anda
Za, kamu lihat kan berita di TV?
Negara ini mau ke Piala Dunia
Mimpi kita untuk sampai di sini
Tapi kenapa rasanya hambar tanpa semangatmu?

Sungguh tak ada balasan dari ratusan pesanku, bahkan seperti tertahan di Mbak-mbak operator.

"Manfaatkan waktu sebaik mungkin, Coach Fakhri kali ini hanya memberi waktu satu jam," kata David mengingatkan sembari melewati beberapa kamar kami.

"Siap, Capt!" Balasku, Zico dan Nando.

Dua temanku itu sibuk memegang ponselnya, Nando baru saja menghubungi Tante Erna dan Zico menghubungi Mamanya. Aku ingin sekali ikut berbicara dengan Tante Erna, tapi dinginnya hubunganku dengan Nando pun membuat aku canggung sendiri. Aku rindu Tante Erna, pun Tante Halida yang ikut menghilang bersama Za.

"Kak," panggilku setelah berhasil menghubungi orang rumah.

"Iya, Bry. Sehat kan? 90 menit negara ini masuk piala dunia, siap kan, Bry? Mama pasti bangga!" Kata Kak Kevin di seberang.

"Insyaallah, Kak. Doanya selalu ya, Kak. Papa ada? Aku mau bicara sama Papa."

Kak Kevin tak menjawab tapi dari apa yang aku dengar, Papa sudah mengambil alih telepon. Bukan Papa tak ada ponsel, tapi ponsel Papa biasa lebih sibuk dari siapapun, rekanan bisnisnya banyak yang menghubungi, kadang telepon anaknya sendiri nggak bisa masuk, kalah dengan telepon rekan bisnisnya. Jadi akan lebih mudah telepon Kak Kevin lalu minta Kak Kevin memberikan pada Papa. Ribet, tapi beginilah adanya.

"Pa," panggilku lirih.

Sampai di titik ini, aku bangga, Papa pasti juga. Tapi tanpa Mama, ditambah tanpa Za. Mengapa lolos fase grup tidak berarti apa-apa.

"Bry, sehat, Nak?"

"Iya, Pa. Bry minta doanya."

"Selalu, besok Papa terbang ke Malaysia. Penerbangan pagi, mau lihat kamu lolos piala dunia."

"Papa nggak apa-apa? Ninggalin kerjaan lagi?"

"Nggak masalah, demi anak Papa, demi negara Papa."

Tetes air mataku jatuh, entah kenapa selalu mudah terharu, menangis, sedih dan lain sebagainya. Jika itu karena orang-orang terdekatku.

Malam ini aku hanya dapatkan semangat dari Papa, Kak Kevin dan Keemas. Mereka bilang akan mendukungku di Malaysia. Pastinya menjadi semangat tersendiri, tapi Mama dan Za terkadang tidak membuat semangat ini sempurna.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang