Chapter 49

1K 141 27
                                    

"Dunia terkadang terlalu kejam," gumam Keemas saat aku masih tertegun oleh kalimat Ernando.

Baru saja aku ingin bangkit, perbaiki hal-hal yang tidak ingin aku ungkit. Tetapi hal yang tidak terduga malah terjadi begitu saja.

Mataku terpejam, menikmati dunia yang begitu temaram dan menjatuhkan air-air bening jatuh menambah sendu sang malam.

"Nando tahu?" Tanya Kak Kevin menungguku berbicara dan hanya menangis saja.

Aku hanya menatap Kak Kevin dengan mataku yang penuh air mata.

"Sudah tidak bisa terhindarkan lagi, Za. Tapi Kakak harap kamu tidak terlalu memikirkannya, jangan sampai sakit lagi, kamu boleh memperjuangkan persahabatan kalian, atau mungkin kamu berjuang untuk perasaanmu, tapi kamu harus ingat bahwa pikiran dan fisik harus sehat. Za, belajarlah dari dukamu ini, belajarlah untuk lebih dewasa dan mengerti apa itu masalah."

Aku tahu maksud Kak Kevin, tapi terkadang peliknya masalah tak sesederhana nasehat apalagi solusi.

"Sutar bilang..." Aku katakan semua apa yang Nando bilang dan apa yang aku dengar sebelum telepon tertutup.

Kak Kevin yang awalnya menunduk jadi menatap ke arahku, Keemas yang sempat teralihkan ke ponselnya pun menoleh ke arahku.

"Jujur juga Mas Nando," ucap Keemas seolah sudah tahu sebelumnya, tidak begitu kaget, mungkin waktunya yang baginya tidak tepat.

"Kamu sudah tahu, Kee? Kak Kevin juga?"

Keemas dan Kak Kevin menarik napas.

"Akhirnya ujian itu benar-benar datang, Za. Selama ini Kakak tahu, cepat atau lambat hal semacam ini pasti terjadi, perpecahan kalian, perasaan kalian, semuanya manusiawi," kata Kak Kevin cukup tenang.

"Ya tapi, Kak, manusiawi? Kita bersahabat, seharusnya tidak ada itu. Kita sudah sejak kecil bersama, berteman dan semuanya selalu baik-baik saja."

Menggeleng. "Za, pepatah Jawa tentang cinta itu datang karena terbiasa, itu benar. Sifat manusia itu menyukai hal-hal yang membuatnya nyaman, dan yang bisa menimbulkan kenyamanan adalah waktu dan terbiasa dalam kebersamaan. Perasaan suka datang itu manusiawi, Tuhan kan yang ciptakan manusia punya hati? Tuhan juga yang ciptakan rasanya. Itu sudah mutlak dan fitrah dari-Nya."

Untuk yang terakhir, itu menohok. Benar sekali, aku sedikit lupa bahwa Tuhanlah yang telah hadirkan hati beserta rasanya, maka ketika hendak protes, rasanya kurang tepat. Segala nikmatNya telah kurasakan, tinggal menjalani saja masih banyak protes.

"Tetapi kita punya mimpi, Kak. Setidaknya mereka bisa mengondisikan itu."

Mengangguk-angguk. "Benar, Tuhan memang yang beri rasa dan hati, tetapi Tuhan juga membiarkan manusia untuk mengondisikan hati dan perasaannya. Manusia bisa mengondisikan, tetapi Za, cinta terkadang begitu menggebu. Banyak orang jadi bodoh, banyak orang jadi buta, parahnya anak muda terkadang lupa nasihat orang tuanya dan lebih ingat nasihat kekasihnya. Untuk kasus ini, Kakak ndak tahu apakah mereka akan jadi bodoh atau buta, tetapi kehilangan mimpi? Kakak rasa mereka tetap punya mimpi untuk Indonesia."

"Jadi Za akan kehilangan mereka berdua, Kak?" Tanyaku kembali berderai air mata.

Menggeleng. "Tidak jika kalian bermain dengan benar. Za, tentu harus ada yang terluka dalam kisah ini, harus ada yang patah hati."

"Tapi Za tidak akan memilih dua-duanya, Kak."

"Kenapa? Karena kamu takut persabatan ini hancur? Pasti ada salah satu di antara mereka yang lebih membuatmu nyaman."

Menggeleng. "Aku ke rumah Tante Erna dulu," kataku berjalan keluar dengan cukup lunglai.

"Za," tanya Om Yusyanto yang baru saja pulang, mendapati aku menangis sendu. "Kenapa kamu?" Menangkup kedua pipiku, melihat mataku yang mulai membengkak.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang