Chapter 51

955 130 12
                                    

Sekolah di Sidoarjo rasnya sudah tidak menarik lagi, sama sekali tidak menarik. Yang tadinya berangkat sekolah begitu menyenangkan, sekarang hanya tersisa bayang-bayang kehilangan.  Dua bangku kosong yang selalu terkesan spesial meski dua penghuninya tengah membela negara pun terasa sangat buruk untuk kupandang. Bukan, bukan karena kursinya telah usang, memang karena kenangan yang kini terkesan menyedihkan.

"Lia, aku duduk sama kamu ya?" Pintaku menggeser tas Humaira ke dekat Rifai. "Eh salah, kamu yang satu bangku sama Rifai," mengganti dengan tas Lia. Aku lupa kalau Rifai pacarnya Lia.

Mengernyitkan dahinya. "Kamu ada masalah sama Babang Rifai?"

Mengangkat kedua alisku. "Babang?"

Itu panggilan yang menggelikan sekali.

"Iya, Bang Rifai. Ya sama aja lah dengan panggilan kesayanganmu buat Nando, Sutar gitu. Ada masalah?"

Menggeleng.

Menarik napas. "Baiklah, aku tidak perlu tahu," katanya melangkah ke bangku kosong di sebelah Rifai.

Aku duduk di pojok paling depan, bersama dengan Humaira yang kalemnya minta ampun. Cocok denganku sekarang yang lebih banyak diam karena kedua sahabatku berulah dengan perasaan.

Sepanjang pelajaran yang biasanya suka nyahut ketika guru menjelaskan, sekarang aku pun hanya bisa diam. Yang biasanya jawab pertanyaan seperti motor si gesit irit, kali ini pun iritnya nggak ketulungan. Pikiranku hanya pada Nando dan Brylian. Bagaimana bisa dua manusia itu punya perasaan yang sama? Oh Tuhan, kalau memang hanya mimpi segera bangunkan aku.

"Sssttt!" Desis Rifai dari tengah. "Sssttt!"

Aku menoleh, percaya diri sekali, dia pasti panggil aku. Dan memang benar, dia menggoyangkan ponselnya di sebelah meja, sedikit sembunyi-sembunyi. Itu artinya dia minta aku buka ponsel.

"Nando!" Katanya dengan gerak bibir.

Menarik napas lantas tak peduli lagi. Sejujurnya aku juga merasakan getar ponselku di saku rok panjangku, tapi tetap tidak peduli.

Sampai pelajaran kedua usai, waktu istirahat pertama, aku membuka ponsel dan panggilan tak terjawab dari Brylian, Nando dan Zico bersautan. Bahkan banyak sekali DM hinggap di instagramku.

Sutan Zico
Za, telepon gue kalau lo baca pesan ini
Penting! Bukan soal rindu!

Mengernyitkan dahiku ketika pop up pesan WhatsApp itu muncul di layar ponselku.

Karena istirahat masih sekian menit, aku beranikan diri untuk menelpon Zico, toh jangan khawatir, pelajaran berikutnya diampu oleh guru yang suka datang terlambat atau lebih memilih kasih tugas daripada ngajar.

"Ah, akhirnya lo telepon gue. Gue nggak punya waktu lama soalnya gue harus diskusi sama David, Rendy, Kembar sama yang lainnya," katanya tanpa salam, bahkan aku belum sempat lontarkan salam.

"Diskusi soal apa?" Tanyaku bingung.

Zico terdengar tengah berbicara, berbisik dengan orang di sana. Dua orang itu seperti tengah membicarakan soal Nando dan Brylian, lantas Zico berteriak untuk melerai lebih dulu dan jangan bilang Coach Fakhri.

"Ada apa, Co?"

"Bentar, Za," katanya lantas suara-suara pelan itu kembali terdengar.

"Sutan Diego Armando Ondriano Zico!" Pekikku karena kesal sekali sangat kesal malah.

Semua orang yang kembali dari kantin langsung melihat ke arahku, terutama para perempuan. Lia, Intan, Kyla, semua malah mendekat dan tersenyum sok manis padaku.

TriangleWhere stories live. Discover now