Chapter 79

868 134 26
                                    

Brylian Point of View

Sejak Zico mengatakan yang sejujurnya, Nando lebih banyak diam. Berbicara hanya ketika aku mengajaknya bicara. Padahal seharusnya aku yang bersikap begitu. Tahu kan cinta bertepuk sebelah tangan itu bagaimana menyakitkannya? Apalagi alasan bertepuk sebelah tangannya ialah karena yang membuatku jatuh hati telah menjatuhkan hatinya kepada sahabatku.

Tidak mudah bagiku bersikap biasa saja,aku berusaha sangat keras untuk itu semua. Tetapi Nando, dia malah lebih banyak diam. Aku juga tidak berniat marah padanya, kecewa pasti ada, tapi aku lebih takut kehilangan Za dan Nando sebagai sahabatku daripada harus memperjuangkan rasa sakitku.

"Nanti ke Leicester ketemu sama Za ya, Tar?" kataku.

"Kamu aja, mungkin waktu kita di Leicester nggak lama," jawabnya memasukkan sepatu ke dalam tas kecil.

"Kamu yang perlu ngomong sama dia, Tar. Kamu nggak pengen memperjuangkan perasaan kamu?" tanyaku.

Jika boleh kukatakan, pertanyaan dan pernyataan itu sudah aku ungkapan puluhan kali, sejak Zico membongkar semuanya. Tetapi Nando selalu diam dan diam, terkadang menjawab dengan senyum segaris.

"Ayolah, aku dukung kok. Mumpung ada kesempatan sebelum Za pindah ke orang lain," bujukku hanya ingin sahabatku juga bisa bahagia.

Nando hanya menatapku, tetapi matanya merah.

"Kalau kamu nggak berani ngechat dia, biar aku deh yang ngechat," usulku membuka ponsel.

Tanpa berkata apapun, Nando melempar ponselku, tidak di lantai, tapi di atas tempat tidur.

"Tar!" bentakku karena khawatir ponsel semahal itu dibeli pakai jerih payah main bola dia lempar seenaknya.

"Lo itu cuma bisa ngusulin buat ini itu, tapi lo nggak pernah mikir perasaan lo!" umpat Nando telah merubah bahasanya yang bagi orang-orang Jawa semacam aku dan Nando, apalagi sudah dekat sejak kecil, itu terasa cukup buruk.

Aku hanya tertegun mendengar Nando dengan bahasa gaulnya dengan kemarahannya dan telingaku cukup tercengang oleh suara meningginya. Apa dia harus semarah itu?

"Gue tuh mikirin lo, Bry! Gue nggak mau nyakitin lo! Gue nggak ada seneng-senengnya sama sekali! Nggak ada!"

Suara Nando mungkin membuat penghuni lain berdatangan, kenyataannya di depan kamar kami sudah ada Zico, Bagas, Bagus, Braif, Supriadi, dan David. Kepala mereka terlihat dari balik pintu yang sedikit terbuka. Tapi aku sedikit tidak peduli dengan sebab Nando meneteskan air matanya setetes.

"Capek gue hidup begini!" gumamnya. "Punya sahabat cuma mikirin gue! Nggak mikir gimana perasaannya!"

Kalimat itu menyentuh hingga relung. Budak cinta hanya akan menangis karena pacar, tapi remaja normal bisa menangis karena sahabatnya.

Sahabat itu, disaat kamu memikirkan perasaannya, dia memikirkan perasaanmu.

Kini air mataku yang jatuh satu tetes. "Aku nggak apa-apa kok, Tar. Asli lah."

"Lo tuh nggak ada bakat bohong!" ketusnya membawa tas dan keluar.

Ketika membuka pintu, dia sedikit kaget.

"Kalian BILT?" tanya Nando pada mereka yang nguping.

"Apaan?" tanya Bagas cengoh.

"Badan Intelejen Lambe Turah!" lantas berjalan menjauh.

"Emang ada?" tanya Bagus lebih cengoh dari Abangnya.

"Ya nggak ada lah, pe'ak!" geplak Zico membuatku sedikit tersenyum.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang