Chapter 6

2K 240 12
                                    

Sore ini aku bergegas ke hotel tempat kedua sahabatku menginap, membawa beberapa bungkus matcha latte dan cokelat untuk kedua sahabatku, Mama yang minta aku bawakan itu untuk mereka. Membawa juga beberapa vitamin untuk Ernando dan Brylian dari Tante Erna, Mamanya Ernando dan Om Yusyanto, Papanya Brylian. Kedua orang tuanya belum bisa menjenguk, termasuk Mamaku dan Papa, karena mungkin akan menjadikan mereka anak kecil ketika pemain lain tak dijenguk tapi mereka dijenguk sambil dibawakan banyak vitamin atau makanan. Tapi para orang tua akan datang di setiap latihan saja jika bisa.

Berjalan cukup pelan ketika sampai di depan gerbang hotel, agak bingung harus bilang gimana ke satpam hotelnya. Padahal dari yang aku dengar, biasanya satpam memperbolehkan masuk jika mau menemui seseorang, apalagi dengan statusku yang mengenal Brylian dan Ernando, tinggal menunjukkan bukti chat atau foto.

Bruk...

Tubuhku terpelanting jatuh, ditabrak seseorang dari belakang. Aku yang menggunakan celana jeans tersungkur dengan cukup hebat sampai lututku terasa perih. Sementara yang menabrakku pun jatuh di sebelahku dengan pantat duluan.

Aku pejamkan mata, menikmati sakitnya lutut yang terluka. Bagian lutut yang terluka itu lebih perih daripada bagian tubuh lain yang terluka.

"Maaf, maaf, Mbak," kata seseorang itu sambil menatapku dari samping.

Sekali lagi aku memejamkan mata, menikmati pula sakitnya kedua telapak tanganku yang aku gunakan untuk tumpuan selain lututku.

"Eh, kamu temennya Nando sama Brylian kan?" Tanya orang yang menabrakku itu.

Menoleh dan yang aku lihat ada di sana adalah Sutan Diego Armando Ondriano Zico, pemain depan Timnas U-16. Dengan kaos oblong warna gelapnya dan celana pendek berbahan jersey.

"Maaf ya?" Katanya bangun dari jatuh lalu menawarkan tangan kanannya untuk membantuku berdiri.

"Lo apain anak orang, Co?"

Tiba-tiba saja datang sepasang Upin dan Ipin asal Secang, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Mereka dengan rambut keriting dan kulit yang cukup gelap. Dan entah si Bagas atau si Bagus yang bertanya pada Zico.

"Ketubruk dikit," jawabnya sekali lagi menawarkan tangan kanannya untukku.

Aku melihatnya, tidak menerima tangan kanannya. Enak saja dia bilang ketubruk dikit padahal lututku terluka, kedua telapak tanganku membentuk cekungan-cekungan bekas kerikil-kerikil kecil.

Aku membersihkan celanaku, ingin membuka celana sampai ke atas lutut, untuk melihat seberapa parah lututku tapi tidak bisa. Bagian bawah celana ini cukup kecil,tidak bisa ditarik sampai atas.

"Sekali lagi, maaf ya, Mbak?" Ucapnya dengan wajah penuh rasa bersalah.

Mengangguk lantas berusaha berjalan ke arah pos satpam, aku beranikan diri untuk menunggu kedua sahabatku di sana. 

"Saya beliin obat merah dulu kalau gitu," ucapnya ketika melihat aku berjalan pincang karena sakit di lututku.

Jika permukaan trotoar tempatku berjalan tadi rata, masih lebih baik lututku tidak terlalu terluka, tapi karena tidak rata jadi ada luka yang lebih parah.

"Eh nggak usah," tolakku tidak enak hati tapi percuma, Zico justru sudah berlari tanpa mendengarkan aku.

"Udah enggak apa-apa, Mbak. Lagi pula emang salahnya dia tadi." Salah satu dari si kembar menyahut, tapi aku tidak tahu yang Bagas atau yang Bagus.

Aku tersenyum tipis saja.

"Kaya pernah lihat ya, tapi dimana?" Gumam salah satu lagi.

Karena aku pusing tidak bisa membedakan mana Bagas dan mana Bagus secara langsung jadi aku buka dulu instagramnya lalu aku amati dengan seksama, si kembar yang ada di depanku ini. Jika di dalam lapangan, aku masih bisa membedakan karena posisi dan nomor punggungnya berbeda, ketika langsung jadi agak bingung.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang