Chapter 33

1.1K 129 5
                                    

Brylian Point of View

Hari terakhir aku ada di Sidoarjo, hari terakhir bebas sebelum esok harus kembali ke TC Timnas U-16. Hari terakhir bebas pun tak kami gunakan ke sekolah meski sangat ingin, setidaknya bisa melewati waktu lebih panjang dengan Za. Aku dan Nando justru mencari banyak perlengkapan sepak bola yang mungkin saja nanti kami butuhkan selama TC. Bersama dengan Kak Kevin, kami susuri jalanan Sidoarjo tanpa Za. Dia semangat sekali bersekolah untuk menjadi dokter, jadi tak mungkin dia ikhlas bolos bersama kami.

"Ndo, kamu lagi suka sama cewek nggak?" Tanya Kak Kevin membuat Ernando yang ada di belakang bersamaku, tengah main E-Sport, mengangkat dagunya.

Ernando diam, menoleh padaku yang hanya menatapnya datar. "Kenapa memangnya, Kak?" Tak mengalihkan pandangannya dariku.

Kak Kevin menatap kami dari kaca spion di tengah. "Enggak, tanya aja. Tuh si Brylian, suka sama cewek tapi nggak berani mengungkapkan. Berani cemburu tapi tidak berani mengatakan. Kasian banget hidupnya," katanya menyindirku.

Meletakkan ponselku, aku tahu Kak Kevin tahu semua tentang kita bertiga, tentang perasaanku yang sangat jelas. Dia pun menebak Ernando punya rasa suka untuk Za. Dia itu sebenarnya lebih berbahaya daripada Zico. Kami saja diam dengan masalah ini, tidak ingin memperbesarnya saat ini, maksudku terutama aku, aku belum ingin membongkar semuanya di masa kini, nanti saja, karena aku harus berpikir baik buruknya untuk persahabatan kami.

"Iya?" Tanya Nando yang sebenarnya seperti sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu. Coba lihat saja wajah datarnya saat ini.

"Iya, Ndo. Kamu itu jangan macam Brylian, pengecut. Hey, cinta itu katakan cinta, sayang itu katakan sayang, suka itu katakan suka, benci itu katakan benci. Dunia sangat rumit karena terlalu banyak orang basa-basi, Ndo. Kamu punya cewek yang kamu suka nggak, Ndo? Katakan sama dia hari ini, sebelum terlambat dan semua menjadi rumit."

Kak Kevin semakin brutal saja dengan ungkapan itu, padahal tadi pagi dia juga menceramahiku tentang itu. Memang ada benarnya, tapi kupikir ketika jujur semua akan menjadi lebih rumit dibandingkan diam.

"Aku tidak bisa jujur. Ya biarlah, nanti cinta juga menemukan waktunya sendiri," kata Ernando melanjutkan lagi permainan di ponselnya.

"Eh jawaban kalian itu sama saja, mau sampai kapan diam-diam doang saling membohongi?"

Aku dan Ernando hanya menghela napas panjang, tak ingin menanggapi lagi atau kami semakin gila. Sementara aku ingin tahu sebenarnya, apakah benar Za perempuan yang membuat Ernando jatuh cinta? Ataukah ada perempuan lain yang sangat beruntung?

Sampai di depan rumah Nando, Kak Kevin pun masih berceramah, padahal ini hari Sabtu, waktu ceramah harusnya kemarin di Sholat Jum'at. Sekolahku memang belum libur di hari Sabtu, sekolah yang menerapkan fullday school nyatanya belum semua.

"Ndo, ingat ya jangan jadi pengecut macam Brylian," teriak Kak Kevin waktu Ernando membuka pintu gerbangnya.

Ernando menatapku di kaca mobil bagian belakang, aku sengaja membukanya untuk berpamitan pada Ernando. "Kalau diam lebih baik dan tidak membuatku kehilangan, maka aku akan tetap diam." Dia menatapku benar-benar dengan sorot mata yang tajam.

"Ya sudah, Tar. Kita balik dulu, keknya Kak Kevin butuh diapet biar mulutnya mampet," celetukku tak ingin berlama-lama memperkeruh keadaan. 

"Ha ha ha. Sekalian kasih Paracetamol biar otaknya nggak panas," sahut Ernando seperti biasanya.

Tidak bisa aku bayangkan, apa bisa semacam ini jika nanti ada rasa lain dariku untuk Za? Jika tidak, apa aku siap kehilangan Za atau bahkan kehilangan Ernando dalam waktu yang bersamaan?

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang