Chapter 30

35.4K 2.7K 51
                                    

Im back y'all
Jangan lupa vote dan komennya loveliz!
\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥

*

Matanya terbuka dan tak menemuka apa pun selain kegelapan. Savy kembali mengerjap mencoba mencari celah cahaya agar ia tahu dimana ia sekarang.

Dirasakan tangannya terikat dibelakang dan mulutnya terbungkam oleh seutai kain.

Savy menggerakkan tubuhnya tapi nihil. Ikatan ditangannya tak bisa terlepas. Teriakannya pun teredam. Ia dalam kondisi yang memperihatinkan.

Di ruangan yang gelap dan sepi itu, Savy dapat mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Suara pintu yang terbuka mengirimkan sedikit cahaya untuk Savy.

Tiga orang pria datang dan menyalakan saklar lampu. Cahaya terang datang begitu cepat membuat Savy merasa sedikit pusing. Kembali ia mengerjapkan mata untuk membiasakan pupilnya akan silau sinar lampu.

"Savannah Chloe Taliyah."

Savy mendongakkan matanya ke arah pria yang berdiri tepat di hadapannya. Ia tak bisa mengenali siapa pria itu karena topi lebar yang menutupi wajahnya.

"Perkenalkan...." Pria tersebut melepaskan topinya dan berjongkok di depan Savy. Pria tersebut terlihat sudah tua, mungkin berusia lima puluhan. Terlihat dari rambutnya yang mulai memutih di beberapa bagian.

Kini Savy dapat melihat dengan jelas, wajahnya tampak familiar tapi Savy tak ingat pernah bertemu dimana. Netra hijau itu juga.

"Aku Alberto." ujatnya sembari tersenyum.

Savy membelalak terkejut. Tak ada yang bisa dilakukannya selain bergumam pada kain penutup mulutnya dan meronta untuk minta dilepaskan. Alberto tertawa dan memegangi pundak Savy untuk tenang.

"Oh tenanglah aku tak seburuk yang mereka katakan."

Ia melepaskan ikatan pada tangan dan kaki milik Savy serta kain yang membungkan mulutnya. Savy mencoba menstabilkan detak jantingnya. Ia kembali memeriksa ruangan kosong itu. Tak ada jalan keluar selain pintu yang kini dijaga oleh dua pria berbadan besar.

Alberto ikut melihat ke arah pibtu dan tertawa kecil. "Jika aku menjadimu, aku tak akan berani memi--" Tak memperdulikan ucapan peringatan Alberto, Savy berlari sekuat tenaga ke arah pintu.

Seperti sudah ditebak, dua pria berbada kekar tersebut bisa menghentikan Savy seketika itu juga. Mereka menyeretnya dan memaksanya duduk kembali di hadapan Alberto. Savy meronta tapi cekalan dua pria itu sangatlah keras.

"Oh jiwa muda, selalu bertindak sembrono."

Alberto menyuruh dua anak buahnya untuk melepaskan Savy. Dipergelangan dan lengannya terlihat jelas bekas merah akibat cengkeraman kuat tersebut.

"Lillian." Mendengar nama adiknya Savy langsung diam.

"Dimana Lily? DIMANA ADIKKU!" teriaknya frustasi.

"tenanglah, dia di tempat yang nyaman."

"Jika kau melukainya barang sesenti pun kupastikan kau akan menyesalinya."

Alberto tertawa dan kembali berdiri.

"Ikutlah denganku, aku akan membawamu padanya. Akan ku buktikan padamu aku bukanlah orang jahat di sini."

Dua pria tadi memaksa Savy untuk berdiri dan menariknya agar mengikuti langkah Alberto. Savy memegangi perutnya dan berdo'a agar calon bayinya selalu pada perlindungan-Nya.

Ia melihat sekeliling, tembok tinggi dan beberapa dinding tanah seperti ruang bawah tanah milik Demon.

Demon, memikirkan pria itu apakah mereka sadar jika dirinya dan Lily tak kunjung pulang? Apa yang sedang terjadi di rumahnya? Ia ingin pulang, pulang ke dekapan prianya yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan.

Mereka menaiki anak tangga dan Savy mendesah lega ketika sinar matahari menyinari tubuhnya. Kedua pria itu masih menyeret Savy agar berjalan lebih cepat. Hingga Alverto berhenti di depan sebuah pintu. Ia membukanya dan memberikan jalan untuk Savy masuk duluan.

Kamar yang indah bernuansa pink. Lily, adiknya menangis meringkuk diujung ruangan. Savy dengan segera berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

"Savy...."

"Lily...."

Savy kembali memeluk adiknya lebih erat. Ia bersyukur tak ada yang terjadi pada Lily, tak ada sedikit luka pun yang tercipta di tubuh kecilnya.

"Lihatlah, aku bukan orang sejahat itu." Savy kembali menatap tajam Alberto yang kini duduk di ujung ranjang menatap reuni kecil sepasang adik-kakak.

"Apa maumu?"

"Aku tahu kau sudah tahu."

Savy mengangkat Lily dan mengelus punggungnya agar tangisannya mereda.

"Aku tak tahu."

"Ambil adiknya."

Lily bereteriak dan memeluk Savy erat, begitu pula dengan Savy, dia enggan memberikan adiknya. Dua pria tadi dengan kasar menarik tangan Lily yang melingkar di leher Savy.

"Lepaskan! Jangan kau sentuh adikku!!!"

"SAVY!!!!" Teriakan nyaring Lily menggema ketika pegangan Savy terlepas darinya. Salah satu dari pria itu menahan Savy agar tetap berada di lantai.

Pria yang memegang Lily mengeluarkan pisau dan mengarahkannya pada Lily.

"Tidak tidak tidak! Lepaskan dia! Ku mohon...."

"Aku memang bukan orang jahat tapi aku juga bukanlah orang baik. Jadi, beritahu aku dimana obat-obat peninggalan Liam dan Taliyah."

"Aku tak tahu!"

"Oh ayolah, jangan membuatku menjadi seorang monster dengan melukai seorang wanita, itu bukanlah sikap seorang gentlemen."

"Kau memang seorang monster! Kau membunuh ibuku enam tahun yang lalu!"

Alberto mengerutkan keningnya dan mengedikkan bahu. Ia terlihat lelah.

"Kau tahu, aku tak suka ketika diingatkan pada masa lalu." Hembusan napas panjang terdengar. Pria itu menatap Savy dengan kasihan dan senyum lembut.

"SAVY!!!"

Teriakan Lily membuat Savy mendorong pria yang menahannya dengan kekuatan penuh. Pria itu terjungkal dan Savy menarik Lily.

Pria tadi kembali berdiri untuk memegang Savy. Dengan cepat Savy melompak dan melingkarkan kakinya pada kepala pria tersebut dan memutar tubuhnya hingga pria tadi jatuh berdebum.

Rekannya datang mendekat, Savy segera mengambil pisau dari pinggang pria tadi, ditariknya Lily agar berdiri jauh di belakanganya.

"Maju satu langkah lagi atau aku akan mematahkan lehermu."

Anak buah Alberto kembali menyerang Savy. Gadis itu tak mengenal lelah, ia akan bertarung mati-matian. Tak akan ada yang boleh menyentuh adiknya.

Pria yang dijatuhkan Savy tadi kembali berdiri dan ikut bergabung untuk memberi Savy pelajaran.

Satu sikukan mengenai wajah Savy membuat hidung gadis itu berdarah. Alberto mendekat dan menyuruh anak buahnya untuk mundur.

"Jangan terlalu lelah, kasihan bayimu."

"CUIH!"

Savy dengan berani meludah ke arah Alberto membuat pria itu melunturkan senyumannya.

"Baiklah jika itu yang kau minta."

Alberto memanggil lagi beberapa orang.

"Ku harap kau akan menyesalinya."

Kini lima orang pria mengepung Savy dan Lily. Savy dengan sisa tenaganya kembali melawan anak buah Alberto. Kakinya terasa lemas. Satu pukulan mengenai kepalanya membuat Savy terjatuh pada karpet bulu yang empuk.

"Ti...dak...."

Pandangannya memudar, hal terakhir yang ia lihat adalah Lily yang merobta ketika diseret keluar dari kamar.

*

See ya tomorrow
Gigi

TRANQUILITY (Complete)Where stories live. Discover now