Suara

2.7K 88 0
                                    

Ada dingin yang memicu jemari tanganku berinteraksi menyusun kata. Sebab yang kau lakukan kemarin telah membatukan semua kemampuan bahasaku, hingga aku hanya terdiam. Sementara logika mencoba untuk mendamaikan badai didalam dada.

Sesaat saja izinkan aku untuk sekedar melihat bibirmu merinaikan rintik-rintik aksara. Karena darinya aku bisa melihat sisi dunia yang tidak aku ketahui. Memulai keterbatasan yang selama ini menjajahi wawasan.

Darimu, aku mengenal bunga-bunga penghias halaman bukit. Sampai mengahafal warna-warni pelangi yang masih disembunyikan hujan.

Bukan aku tak ingin menjajaki semesta lain, tapi bulat matamu telah merubah mata angin. Sepertinya Tuhan punya rencana lain -- sejak mata itu berhasil mengunci ucap yang tertawan dikantung hati -- lalu disampaikannya pesan itu lewat tetesan embun di pinggiran gelas yang membuat basah permukaan meja.

tapi bukankan semua kini telah usai? setelah pesan yang tak sengaja kau kirimkan, dengan telak menjatuhiku hukuman yang menyatakan bahwa: "bukan aku kini yang menjadi semestamu" Dan aku tak lagi berhak berjalan , atau sekedar berteduh dari hujan, aku tak lagi berhak!

Dan untuk menjalankan kewajibanku sebagai pandir yang telah kau gubah menjadi perindu mahir, telah kusiapkan sepasang bahu dan dua telinga, sebagai rumah, bila suatu hari semestamu tak lagi ramah.

Sajak-Sajak PerasaanWhere stories live. Discover now