12] Mencari Sang Pengasuh.

Start from the beginning
                                    

"Mai, kenapa sampai seperti ini? Kamu kenapa?" Tanya Chandra.

Bukannya menjawab, Maira justru makin sesengukan dan semakin lama tangisnya pecah. Candra menatap lekat wajah Maira, kedua tangannya memegang kedua sisi lengan sahabatnya.

"Chandra, Zhi-zhira di bawa pergi, aku tidak mau jauh dari Zhira, aku tidak mau dia pergi," ucapnya sambil tersedu-sedu.

Arman mengepalkan kedua tangan sampai kukunya benar-benar memutih. Antara tidak rela atau cemburu Arman tidak tahu, yang pasti dia benar-benar tidak rela melihat pengasuh itu bersama lelaki lain.

Sedangkan Chandra merasa tidak tega melihat Maira sekacau itu, Chandra berinisiatif untuk memeluknya, menarik tubuh Maira agar mendekat. Namun, belum sempat tubuh sahabatnya mendarat, seseorang menarik tubuh Chandra hingga menjauh dari Maira.

"Jika tidak ingin suasananya semakin kacau. Pergilah! Saya bisa mengurus istri saya sendiri," ucapnya dingin penuh penekanan.

Chandra melirik Maira yang sudah sangat kacau. Salah! Salah jika ia masih mencari gara-gara dengan keadaan sahabatnya yang seperti saat ini, mungkin ada baiknya ia pergi. Setidaknya Maira aman sekarang, meski berat akhirnya Chandra memilih mundur tanpa sepatah katapun. Lalu pergi, benar-benar pergi.

♡♡♡

Semenjak perginya Chandra keadaan terasa semakin dingin, Maira masih diam. Beda halnya dengan tangis yang kian tersedu. Rasa bersalah di hati Maira karena tidak becus menjaga Zhira kini menguasai jiwanya. Hingga sekedar bicara dengan sang ayahpun ia tidak berani.

"Berhentilah menangis! Kamu pikir dengan tangis Zhira akan kembali?" Ya! Begitulah Arman. Tetap dingin meski dengan keadaan Maira sekacau itu. Wajahnya pucat, kedua tangannya mengerut bahkan memutih, Arman sadar jikalau tubuh pengasuh ini sudah menggigil namun ia terlalu gengsi jika harus menunjukkan kekhawatirannya. Teganya lagi, dia membuka paksa jaket milik Chandra lalu membuangnya.

"Ayo pulang!" Ajak Arman berjalan lebih dulu meninggalkan Maira di belakang yang mendekap tubuhnya sendiri karena kedinginan. Jika dia Chandra, mungkin lelaki itu tidak akan melepas rangkulannya sampai kemobil. Sayangnya ini Arman! Lelaki cuek yang dinginnya melebihi kutub utara.

"Tapi, Mas. Aku harus mencari Zhira, aku harus menemukan Zhira," keras kepala Maira.

Arman menghentikan langkahnya. "Saya berjanji! Akan segera menemukan Zhira. Sekarang ayo pulang," ucapnya, lalu kembali berjalan.

Maira hanya bisa tersenyum kecut, hatinya tidak mungkin bisa tenang jika Zhira masih belum ditemukan. Saat itu juga Maira mulai merasakan tubuhnya begitu dingin, kepalanya terasa pening. Bahkan sekedar menahan tubuhnya tetap seimbangpun tetap tidak bisa. Dan akhirnya ambruk di pinggir trotoar. Mungkin di depan sana, Arman belum menyadari jika Maira sudah jatuh pingsan.

"Maira cepatlah! Saya capek berjam-jam harus muter-muter buat nyari kamu." Sambil terus berjalan Arman bermaksud berbicara pada Maira. "Mai!! Maira?!!" Karena tidak adanya jawaban akhirnya Arman menoleh dan mendapati Maira sudah tergeletak di pinggir jalan.

Arman berlari menghampiri Maira yang sudah tak sadarkan diri. "Mai?! Maira?! Bangunlah," panggil Arman mengguncang tubuh Maira. "Pengasuh ini ... tidak punya kerjaan lain apa, selain menyusahkan orang?!" Keluh Arman sembari mengangkat tubuh Pengasuh itu lalu membawanya pulang.

Sesampainya di rumah, Arman langsung membawanya ke kamar di ikuti Bik Inah, Lastri, dan Yesi ketika mendengar teriakan Arman yang menggema di ruang tamu.

"Lastri cepat panggil dokter ke sini," perintah Arman.

Lastri sempat terperangah. "Ba-baik, Tuan." Lalu keluar dari kamar Arman menuju telepon rumah yang ada diatas laci ruang tamu. "Oh iya! Jam segini emang ada? Dokter yang mau kesini?" Jeda sejenak. "Ahhaaa." Lastri memetikkan jari seolah dapat ide cemerlang, "aku kan punya nomer dokter gantengannya Non Zhira," cetus Lastri ketika mengingat pernah meminta nomer itu ketika mengantar Maira dan Zhira ke rumah sakit.

***

Lastri yang menelepon, Bik Inah bertugas mengganti pakaian Maira, sedang Yesi bertugas membuat bubur. Rumah yang seharusnya sudah senyap, kini semua pada sibuk dengan Arman yang heboh memerintah ini itu. "Lastri, mana dokternya?"

"Tidak tahu, Tuan. Mungkin lagi di jalan." Jawab Lastri.

"Tuan, saya sudah mengganti pakaian Non Maira." Bik inah melapor.

"Ya sudah, kalian jaga dia. Saya harus ganti pakaian dulu," ucapnya lalu pergi ke kamar utama.

Lastri menggeleng dengan sikap Tuannya.

"Kenapa geleng-geleng?" Tanya Bik Inah menghampiri Lastri.

"Heran aja Bik, sama Tuan. Gak biasanya sampe heboh gini, padahal sama Non Maira dingin, cuek, suka marah. Tapi, Sekarang ...."

"Kamu belum kenal Arman seperti apa. Sebenarnya dia itu baik, hangat, dan romantis. Hanya saja, saat ini dia belum bisa berdamai dengan masalalunya." Jelas Bik inah kembali masuk ke kamar Maira.

Selang beberapa menit kemudian pintu di ketuk, dengan cepat Lastri membukanya.

"Di mana Maira?" Tanya sang tamu langsung masuk tanpa persetujuan Lastri. Wajahnya begitu Khawatir, "malah bengong! Di mana kamar Maira?"

Lastri terlihat bingung dengan Dokter itu. "Hah? Di-disitu." Lastri menunjuk kamar Maira.

Tanpa basa-basi dokter tampan itu menuju kamar Maira.

Lastri menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedikitpun. "Dia itu Dokter? Atau suaminya? Khawatir banget! Tau, ah!" Seru Lastri menutup pintu lalu menyusul Si Dokter tampan.

Bersambung....

Jangan lupa vote dan komen bagaimana cerita ini menurut kalian?

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now