Dua Puluh Delapan

94.4K 9.2K 476
                                    

Rajendra menatap Eliya yang terlelap dalam tidurnya, hanya dengan menggunakan bath rope ketika ia keluar dari kamar mandi.

Baju mereka belum selesai di laundry. Karena tak ada baju ganti, mereka terpaksa memakai jubah mandi yang disediakan pihak hotel.

Melemparkan handuk kecil, bekas mengeringkan rambutnya kesembarang tempat. Rajendra menghampiri Eliya yang tertidur menghadap balkon.

Tak pernah ada kata bosan bagi Rajendra, memandangi wajah Eliya tengah tertidur selalu bisa menenangkannya. Dari dulu hingga sekarang.

Setelah adegan penuh tangis dan makian di bibir pantai tadi sore, Rajendra membawa Eliya menginap di hotel.

Lagipula tak mungkin mereka pulang dalam keadaan baju basah. Rajendra sendiri pun merasa risih.

Menyingkirkan anak rambut yang berantakan, dan menyelipkannya ke telinga. Rajendra menatap lekat wajah damai Eliya.

"Aku nggak bisa nyingkirin rasa itu, El. Meski seringkali aku berusaha menguburnya dengan berton-ton kebencian." Lirih Rajendra kali ini mengusap lembut pipi Eliya dengan punggung tangannya. Merasai kelembutan yang tersisa.

Mengecup kening Eliya lama, Rajendra masih meraba perasaannya. Mencari reaksi yang hadir saat mereka bersentuhan.

Getaran itu hadir, tak pernah hilang dalam dirinya. Rasa yang ia anggap hilang nyatanya masih menduduki sisi hatinya yang masih dipenuhi nama Eliya.

Gejolak rindu dan sayang membelit menjadi satu, akal sehatnya tak lagi berfungsi. Memilih Menuruti apa kata hatinya.

"Aku mencintaimu, El. Sungguh masih mencintaimu." Bisik sepelan mungkin, membuat Rajendra menjatuhkan bulir airmatanya jatuh tepat dikening Eliya.

Untuk sekali saja, ia ingin memanjakan hatinya. Sebelum ia kembali pada realita.

Menjauhkan diri, kembali Rajendra membelai rambut Eliya. Kemudian Mengusap perut datar Eliya, berharap bahwa benihnya akan tumbuh di rahim wanitanya ini.

"Tumbuhlah dengan sehat di sana, sayang."

Menarik dirinya secepat mungkin, Rajendra menyambar bungkus rokok yang tergeletak di nakas dan menuju balkon.

Tak peduli sedingin apa angin laut pada malam hari, ia hanya ingin sendirian. Menjernihkan pikirannya.

Rajendra memang berharap agar Eliya hamil dan kembali menjadi miliknya. Meski ia tahu caranya begitu licik. Awalnya ia merasa tak terima, karena Eliya tertawa bahagia apalagi dengan pria lain.

Ia tetap tak menyukai kenyataan bahwa dirinya cemburu.

Menghembuskan napas berat, Rajendra bersandar pada pagar besi menghadap ke dalam kamar.

Ada sisi hatinya yang tak terima, jika Eliya pergi dari hidupnya. Apalagi cuma berdua dengan anaknya.

Rajendra mendecih. Anaknya. Anak yang diangkat Eliya dari panti asuhan itu maksudnya. Tidak akan pernah terjadi. Eliya harus tetap berada di dekatnya.

Rajendra mengeluarkan ponselnya, nama Salma tertera di layarnya. Mengabaikan panggilan teleponnya, Rajendra kembali menghisap rokoknya seraya menikmati wajah Eliya yang tengah tertidur.

Bip.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel pintarnya.

Laporan lengkap bos. Kapan saya menghadap?

Cepat-cepat ia mengetikan sebuah balasan.

Kantor. Besok siang.

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang