Dua Belas

73.5K 7.5K 118
                                    

Daun pintu terbanting keras menabrak dinding, seorang wanita melemparkan tas jinjingnya begitu saja. Terlempar hingga melewati kasur yang tepat berada di tengah ruangan.

Dengan napas memburu, wanita itu berjalan mondar-mandir. Di depannya banyak terdapat banyak foto yang kebanyakan adalah potret dari keluarga Kusuma Negara.

Ada potret Eliya dan Rayya di sana. Wanita itu menatap nyalang ke arah dinding tersebut.

Dalam sekali sentak, wanita itu menghempaskan semua barang-barang yang ada di meja riasnya.

Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Deru napasnya memburu tanpa bisa di cegah.

"Kamu mungkin bisa hidup bahagia, tapi itu gak akan lama. Tunggu aja Monik. Aku akan bikin kamu lebih menderita lagi!"

Dengan penuh amarah, ia melemparkan panah ke arah papan dart yang berhiaskan foto Monik dengan Jetro.

Selanjunya ia tertawa dengan seringaian yang menyeramkan. Membuat siapa saja yang memandang akan ketakutan.

●◎●◎●◎●◎●

"Mbak El! Dipanggil pak bos!" teriak Manda yang serta merta membanting pintu pantry. Ada nada tak sabaran tersemat di sana.

Tanpa aba, Manda meraih lengan Eliya dan menyeretnya pelan agar segara ke ruangan pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.

"Ada apa sih, Mbak Man? Kok mendadak banget. Tadi kan saya udah bikinin kopi ribet versi mbak Manda," ucqp Eliya. Pasalnya ia belum selesai mengoleskan salep kulit, untuk luka melepuh di tangannya.

"Gak tau, Mbak. Pokoknya Bapak nyuruh aku manggil siapa yang selalu bikinin dia kopi."

"Apa kopi buatan saya gak enak, Mbak?" Manda menggeleng cepat.

"Gak mungkin, Mbak. Bapak selalu ngabisin kopi buatanmu."

"Terus. Kenapa tiba-tiba saya dipanggil, Mbak?"

"Gak tau. Bapak habis keluar sama calon tunangannya. Baru juga setengah jam, tau-tau Bapak balik lagi nyuruh aku manggil Mbak El. Dan auranya itu lho, Mbak. Kek nahan amarah gitu." Manda bergidik ngeri saat tiba-tiba bosnya dateng dengan wajah tegang. Kalau wajah datar, tiap hari sudah menjadi makanan Manda. Kali ini lebih serem dari wajah datar biasanya.

Eliya deg-degan. Ia tak tahu kesalahan apa yang sudah diperbuatnya hingga dipanggil si bos. Kopinya pun sesuai dengan takaran yang dihimbau oleh Manda. Lalu kenapa tiba-tiba dipanggil.

Eliya berdoa dalam hati, semoga saja ia tidak dipecat.

"Tunggu sini, ya, Mbak." Eliya mengangguk. Membiarkan Manda memasuki ruangan di depannya.

Tak lama sosok Manda keluar, setelah mengatakan bahwa Eliya sudah di depan.

"Mbak. Masuk gih. Semoga gak ada apa-apa, ya." Manda menepuk bahu Eliya yang diangguki pelan oleh empuhnya.

Dada Eliya berdegup kencang. Ada gelisah yang bercampur di dada. Ia tak tahu perasaan apa yang sedang menderanya. Semuanya menjadi satu tanpa Eliya tahu apa.

"Bismillah," guman Eliya membuka pintu tersebut setelah mengetuk terlebih dahulu.

Degupan Eliya semakin menggila, kala yang ia lihat adalah kursi sang bos yang menghadap ke jendela. Menenggelamkan sosoknya dalam kursi kebesaran miliknya.

Meski hanya sebagian kaki dan kepalanya yang terlihat, tak serta merta membuat Eliya tenang.

"Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?" Eliya bersuara meski yang terdengar hanya sebuah cicitan.

Sungguh ia tak tahu apa kesalahan Eliya, sampai si bos besar memanggilnya.

Eliya lebih memilih menunduk, memandangi lantai berhiaskan karpet import yang tak mungkin berharga murah.

Hingga sepasang sepatu pantofel coklat juga ikut serta dengan di bawah sana, berhadapan dengan sepatu Converse aspal miliknya.

Barulah Eliya menyadari bahwa bosnya sudah berada di depan, tempat ia berdiri.

Perlahan Eliya mengangkat kepalanya dan menemukan manik coklat yang menatapnya dengan intens, membuat Eliya mendadak kehilangan orientasinya untuk berpijak.

"Jendra," guman Eliya mengatupkan rahangnya.

Ini apa lagi, ya Allah?

Reflek Eliya memundurkan langkah, saat Rajendra menghampirinya perlahan.

"Kenapa Eliya? Kaget?"

Eliya menelan ludahnya susah payah. "Jen, kamu-"

"Ya, El. Aku bosmu. Dan selamat datang di nerakaku." Kali ini Rajendra tak lagi menyembunyikan seringaiannya.

●◎●◎●◎●

Monik mondar-mandir di dalam kamarnya. Ada kegelisahan di mana.

"Nggak mungkin! Nggak mungkin! Itu bukan dia." Racau Monik mengigiti kuku jarinya.

Seharusnya saat ini ia sudah berada di cafe tempat ia janjian dengan seseorang.

Namun alangkah terkejutnya Monik begitu pintu mobil yang ditutup dengan kasar, ketika ia keluar dari mobil.

Sesosok wanita yang hampir seumuran denganya menatap dengan tatapan bengis.

Belum sempat Monik mengucapkan sesuatu, tamparan yang berasal dari wanita itu mendarat sempurna di pipinya.

"Harusnya kamu yang mati, bukan Jetro." Bisikan wanita itu mematikan seluruh kinerja ototnya.

Tubuhnya otomatis membeku, tanpa bisa ia gerakkan.

"Enggak! Bukan aku! Aku nggak mau!" Jerit Monik sembari menutupi kedua telingganya begitu mengingat bisikan wanita tadi, namun sarat akan ancaman. Tapi tetap saja bisikan itu selalu terngiang, memutarnya bagai kaset rusak.

"Mashaallah, Buk! Buk Monik! Buk Monik kenapa?" tanya Bik Fatma. Tergesa-gesa ia menaiki tangga, begitu mendengaran jeritan majikannya.

Guncangan ditubuhnya tak jua menenangkan Monik, ia semakin histeris. Bahkan kini ia semakin terlihat ketakutan, dan duduk menepi di sudut ruangan.

Wanita tua berdaster itupun panik. Dirinya tak tahu harus bagaimana lagi menenangkan majikannya ini.

Pilihannya hanya satu. Cepat-cepat ia keluar kamar Monik dan mengambil telepon rumah. Mendial beberapa nomer.

Beberapa detik suara sambungan telepon berdering, sedikit melirik ke arah lantai dua. Menerka apa sekiranya yang sedang majikannya lakukan.

Tak diangkat.

Kembali Bik Fatma mendial nomer yang sama seperti tadi.

Tersambung.

"Halo, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Halo! Non ... Ibuk, jejeritan!"

◎●◎●◎●◎

Uuugh! Authornya lagi puyeng. Maapken yg sempat PHP yes.

Gak ada maksud tjoy, emang tadi beneran kepencer publikasi. Padahal niatnya mau save.

Mahalo
-Dean Akhmad-
07-09-2018

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Where stories live. Discover now